Cari Blog Ini

Senin, 28 Maret 2011

antibiotik pada kehamilan

Dalam upaya pengendalian infeksi ada 2 jenis terapi antibiotika yaitu :
1.terapi profilaksis yang digunakan pada keadaan ;
a.Antibiotik sebelum ada gejala infeksi
b.Antibiotika sebelum mikroorganisme teridentifikasi.
2.Terapi Definitif yaitu ; pemberian terapi antibiotika rasional ditujukan langsung terhadap jenis mikroorganisme tertentu yang diidentifikasi melalui apusan langsung atau biakan.
Menurut jenis antibiotika yang diberikan, terapi antibiotika digolongkan menjadi :
a)Terapi antibiotika tunggal yang efektif untuk mengendalikan , menghilangkan mikroorganisme penyebab infeksi seperti :
Golongan Penisilin, sefalosporin, aminoglikoside, kloramfenicol, macrolid, tetrasiklin, klindamisin, metronidazole, kuinolon
Mekanisme kerja :
1.Merubah struktur dan fungsi dinding sel bakteri
2.Merintangi replikasi genetic.
3.Melemahkan sintesa protein.
4.Membantu fungsi membran sel.
5.Mencegah sintesa asam folat.
b)Antibiotika kombinasi
Diberikan apabila mikrorganisme penyebab tidak diketahui sedangkan penderita memerlukan terapi segera.
Untuk ibu hamil aman dan tidak menyebabkan kelainan janin.
Keuntungan terapi kombinasi
1.Pengobatan segera oleh karena penyebab tidak segera diketahui.
2.Mengobati infeksi ganda.
3.Mencegah resistensi.
4.Sinergisme dimana hasil terapi lebih baik. Seperti Kotrimoksazole yang terdiri dari trimethtropin dan sulfametoksazole, penisilin dengan gentamisin dan klindamisis, dll.
Kerugiannya :
1.antagonis dimana campuran kurang sebanding dengan aktifitas antibiotika masing-masing seperti ampisilin dengan kloramphenicol, penicillin dengan eritromisin.
2.Sembuh semu yang hanya menekan infeksi sementara.
3.Toksisitas obat meningkat oleh karena reaksi toksik.
4.Supra infeksi yaitu pertumbuhan spesies resisten terhadap antibiotika.
5.Meningkatnya biaya terapi.
TINGKAT KEAMANAN ANTIBIOTIKA SELAMA KEHAMILAN
1.Aman
•Penicillin
•Sefalosporin
•Eritromisin
•Linkomisin
•Klindamisin
•Nistatin
•Mikonazole
2.Cukup Aman Asal Sesuai dengan Dosis Terapi
•Klorokuin
•Primakuin hanya pada kehamilan 12-24 minggu
•Nitrofurantoin.
•Asam Nalidiksat untuk kehamilan <> 24 minggu
•Etambutol
•Isoniazid
•Ketokonazole
5.Kecuali Darurat Sebaiknya Tidak Diberikan
•Aminoglikoside
•Kina
•Primakuin untuk kehamilan > 24 minggu
•Kotrimoksazole untuk kehamilan > 24 minggu

Antibiotik untuk Pneumonia



Infeksi organ pernapasan masih menjadi masalah besar bagi dokter paru. Satu atau lebih kesalahan dalam penggunaan antibiotika akan mendatangkan hasil yang buruk
Lagi-lagi antibiotik. Memang tak akan pernah ada habisnya kalau bicara agen pembasmi bakteri ini. Dalam The Seventh International Meeting on Respiratory Care Indonesia (Respina), di Hotel Borobudur 2-4 Desember lalu, topik tentang antibiotik dan resistensi bakteri menjadi perdebatan cukup seru. Lebih-lebih penggunaan antibiotik di paru .
Menurut Prof. Dr. Hadiarto Mangunnegoro SpP(K) dari RS Persahabatan Jakarta, infeksi organ pernapasan seperti pneumonia masih menjadi masalah besar bagi sebagian besar dokter paru. Keputusan yang tepat sangat diperlukan saat memilih dan kapan harus memberikan antibiotik dengan akurat. “Satu atau lebih kesalahan dalam keputusan klinis mungkin akan mendatangkan hasil yang buruk,” jelas Hadiarto. Tak heran jika tingkat morbiditas dan mortalitas pneumonia masih sangat tinggi khususnya pada pasien dengan risiko tinggi seperti pasien lansia, penderita HIV, pengguna alkohol dan pasien dengan kondisi kekebalan tubuh yang tidak baik.
Terapi antibiotik optimal, masih menurut Hadiarto, dalam manajemen community-acquired pneumonia (CAP) selalu menimbulkan kontroversi. Yang paling utama adalah kebanyakan terapi yang appropriate terhadap CAP tidak disertai diagnosis dan etiologi CAP yang akurat di sebagian besar pasien. Selain itu kemungkinan timbulnya resistensi bakteri dan infeksi polimikrobial pada CAP.
Dikatakan pria kelahiran Cianjur 18 Juli 1942 ini, insiden SCAP (Severe community-acquired pneumonia yakni CAP yang berat hingga harus dirawat di ICU) cukup tinggi yaitu sekitar 5-35 % dengan kematian mencapai 20-50%. Dan, hampir 50% penyebab SCAP tidak diketahui.
Pasien SCAP, menurut panduan BTS tahun 2001, harus diterapi dengan antibiotik secara parenteral segera setelah didiagnosis. Kombinasi intravena β-lactamasespektum luas seperti co-amoxiclav atau generasi kedua cephalosporin (misal cefuroxime), generasi ketiga cephalosporin (misal cefotaxime atau ceftriaxone) dengan makrolide (misal clarithromycin atau erythromycin) sangat dianjurkan. Bagi pasien yang tidak toleran dengan β-lactam dan macrolide, atau diketahui ada kuman C difficile yang menimbulkan diare, maka fluoroquinolone dengan aktivitas tinggi melawan S pneumoniae bisamenjadi alternatif.
Pemberian antibiotik pasien SCAP yang dirujuk ke ICU juga bisa berdasarkan konsensus ahli dalam ASCAP (Antibiotic Selection for CAP) yang diterbitkan 1 Januari 2005 lalu. Antibiotik lini pertama untuk pasien SCAP dengan kemungkinan patogen sudah diketahui (misal Pseudomonas saja atau bersamaan dengan S. pneumoniae, H. influenzae, M. catarrhalis dan patogen atipikal lain) adalah antibiotik intravena ceftazidime plus aminoglycoside dan azithromycin ATAU impenem, aminoglycoside, dan levofloxacin.
Untuk lini kedua bila ada kemungkinan resistensi, bisa diberikan ceftazidime plus aminoglycoside, dan levofloxacin, ATAU piperacillin plus aminoglycoside dan azithromycin.
Durasi pemberian antibiotik bagi pasien community atau dirujuk ke rumah sakit dengan pneumonia non-severe atau tanpa komplikasi, adalah 7 hari. Namun untuk severe pneumonia dengan jenis mikrobiologi belum diketahui, menurut BTS, antibiotik diberikan selama 10 hari. Durasi diperpanjang hingga 14-21 hari bila ada kecurigaan atau dikonfirmasi legionella, staphylococcal, atau Gram negative enteric bacilli pneumonia.
HAP
Selain keputusan pemberian antibiotik berdasarkan evidence based medicine (EBM), Hadiarto menekankan, perlunya melihat pola-pola lokal dalam pemberian antibiotik. Ia mencontohkan, pola infeksi di Indonesia masih dikuasai Gram- negatif. Dari pengamatan Hadiarto di sejumlah rumah sakit di Indonesia, penggunaan ciclosporin sudah mencapai lebih dari 60%. “Jadi selain EBM, dibutuhkan juga experience dan melihat pattern lokal,” kata Hadiarto.
Tingginya penggunaan antibiotik tertentu akan memperbesar terjadinya resistensi. Maka perlu dilihat alternatif panggunaan antibiotik. Meski bukan yang terbaik, namun penggunaan kombinasi piperacillin dan tazobactam ternyata sama efektifnya dengan antibiotik jenis lain.
Dipaparkan oleh Prof. DR.Dr. Rianto Setiabudy SpFK, dari Departemen Farmakologi Klinik FKUI, beberapa studi dilakukan untuk melihat efikasi kombinasi piperacillin dan tazobactam dalam manajemen Hospital-acquired Pneumonia (HAP). HAP merupakan pneumonia yang terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. HAP merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi dari infeksi nosokomial di rumah sakit. Faktor risiko terjadinya HAP antara lain adanya kolonisasi oroparingeal, penggunaan ventilasi mekanik lebih dari 48 jam, perawatan di ICU dan perawatan yang lama di rumah sakit, keparahan penyakit dan munculnya komorbiditas.
Studi di Swiss dilakukan pada pasien HAP dewasa yang dirawat di rumah sakit lebih dari 72 jam. 75 pasien diberikan injeksi IV piperacillin/tazobactam4,8 gram tiap 8 jamdan 79 pasien mendapat imipenem/cilastatin injeksi IV 500 mg/500 mg tiap 6 jam. Respon klinis pada kelompok piperacillin/tazobactam, dilihat melalui gejala peneumonia dan foto toraks mencapai 83% sementara di kelompok imipenem/cilastatin hanya 71%. Respon terhadap bakteri P. aeruginosa 91% dibandingkan imipenem/cilastatin yang hanya 50%. Resistensi di kelompok piperacillin/tazobactam hanya terjadi pada 1 pasien sementara di kelompok pembandingnya 6 pasien.
Studi lain yang dilakukan di Spanyol maupun Perancis dengan pembanding ceftazidime menunjukkan hasil yang tidak jauh bermakna. Baik piperacillin/tazobactam maupun ceftazidime dikombinasikan dengan amikacin 15 mg/kg/hari. Dari dua studi di Spanyol dan Perancis ini, piperacillin/tazobactam ekuivalen dari segi efikasi dengan ceftazidime ditambah amikacin. Demikian pula dalam hal angka eradikasi patogen dan angka mortalitas yang tidak jauh berbeda.
Mono atau Kombinasi?
Pertanyaan ini sering dipertanyakan dalam pemberian terapi antibiotik. Menurut Hadiarto, terapi tunggal tidak direkomendasikan untuk SCAP. “Kombinasi minimal dua agen lebih bagus untuk mengurangi mortalitas dan resistensi,” jelasnya.
Sementara itu dipaparkan Rianto lagi, ada kriteria kapan harus diberikan terapi kombinasi antibiotik. Menurut Rianto, ada empat kriteria terapi kombinasi. Pertama, bila kombinasi tersebut memberikan sinergi. Kedua apabila kuman masuk kategori berat dan belum diidentifikasi. Ketiga, jika bisa dibuktikan kalau terapi kombinasi tersebut bisa menunda terjadinya resistensi dan keempat, bila terjadi infeksi campuran bakteri Gram positif, Gram negatif dan anaerob. Bila kriteria ini dipenuhi dan diterapkan secara benar maka kecil kemungkinan terjadinya multidrug resistance. “Kalau sekadar batuk pilek saja tidak perlu terapi kombinasi,” tegas Rianto.
Rianto menambahkan, kombinasi tidak dilarang bahkan dalam keadaan tertentu justru dianjurkan. Yang tidak boleh adalah pemberian antibiotik kombinasi untuk infeksi remeh temeh sehari-hari. “Bila infeksi berat, jangan kasih kesempatan kuman untuk hidup. Jangan tanggung-tanggung memberikan antibiotik,” tegasnya.
Bila dosis besar maka semua kuman baik yang lemah maupun yang kuat akan mati, tidak memberi kesempatan kuman untuk bermutasi. Jika antibiotik diberikan dalam dosis nanggung, maka first step mutan tidak mati dan memberi kesempatan padanya untuk menggandakan diri dan mengisi posisi teman-temannya yang mati. “Justru kalau kadarnya rendah sekalian tidak jadi masalah yang besar. Meskipun kuman yang kuat tidak mati, tetapi first step mutan tidak ada kesempatan berkembang karena dia minoritas,” jelas Rianto lagi.
MRSA
Saat lunch simposium, tema resistensi bakteri menjadi topik yang dibicarakan. Timbulnya resistensi baik pada organisme-organisme gram negatif maupun methicillin-resistant staphylococcus aureus (MRSA) menjadi ancaman yang besar, di luar infeksinya sendiri. Resistensi bakteri berkaitan dengan penggunaan antibiotik secara berlebihan. Padahal hal ini seharusnya bisa dihindari dengan menggunakan EBM.
MRSA hingga kini masih menjadi ancaman serius di ICU. Ada beberapa alasan kenapa MRSA masuk kategori “berbahaya”, seperti dijelaskan Hadiarto. Pertama, S. aureus ditakuti karena sifat virusnya dan kemampuan menyebabkan infeksi metastasis foci. Kedua, infeksi MRSA diasosiasikan dengan tingginya angka terapi empirik antibiotik yang tidak appropiate, sehingga memicu hasil yang mengerikan. Alasan selanjutnya, hingga kini terapi infeksi MRSA sebenarnya masih terbatas pada glikopeptida, yang diketahui memiliki penetrasi jaringan yang tidak bagus, sama halnya dalam aktivitas membunuh bakteri yang sangat kurang dibandingkan penisilin.
Pada awalnya vancomycin merupakan pilihan pertama untuk infeksi MRSA. Namun kini mulai terjadi resistensi pada agen ini. Antibiotik alternatif pun harus dicari, misalnya linezolid. Dr. Yati Istiantoro SpFK dari Departemen Farmakologi FKUI/RSCM, memaparkan penetrasi antara linezolid dan vancomycin pada paru. Secara umum, seperti diutarakan juga oleh Prof. J. Lipman, Kepala Bagian Anastesi dan ICU, Universitas Queensland, penetrasi linezolid ke jaringan pada pasien dengan ventilator sangat bagus. “Beberapa studi farmakokinetik tentang penetrasi ini juga menunjukkan distribusi volume yang tinggi dan penetrasi jaringan yang bagus.”

kerja senyawa antibiotik

Antibiotika


Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap mutan atau transforman. Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri. Antibiotika berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desifektan membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi kuman untuk hidup.
Tidak seperti perawatan infeksi sebelumnya, yang menggunakan racun seperti strychnine, antibiotika dijuluki “peluru ajaib”: obat yang membidik penyakit tanpa melukai tuannya. Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan Setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif atau gram positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga bergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut.
Antibiotika oral (yang dimakan) mudah digunakan bila efektif, dan antibiotika intravena (melalui infus) digunakan untuk kasus yang lebih serius. Antibiotika kadangkala dapat digunakan setempat, seperti tetes mata dan salep.
Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan sasaran kerja senyawa tersebut dan susunan kimiawinya. Ada enam kelompok antibiotika[1] dilihat dari target atau sasaran kerjanya(nama contoh diberikan menurut ejaan Inggris karena belum semua nama diindonesiakan atau diragukan pengindonesiaannya):
  • Inhibitor sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan Penicillin, Polypeptide dan Cephalosporin, misalnya ampicillin, penicillin G.
  • Inhibitor transkripsi dan replikasi, mencakup golongan Quinolone, misalnya rifampicin, actinomycin D, nalidixic acid.
  • Inhibitor sintesis protein, mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari golongan Macrolide, Aminoglycoside, dan Tetracycline, misalnya gentamycin, chloramphenicol, kanamycin, streptomycin, tetracycline, oxytetracycline
  • Inhibitor fungsi membran sel, misalnya ionomycin, valinomycin.
  • Inhibitor fungsi sel lainnya, seperti golongan sulfa atau sulfonamida, misalnya oligomycin, tunicamycin. Dan
  • Antimetabolit, misalnya azaserine.
Penggunaan ANTIBIOTIK Yang Rasional dan Benar
MEMANG penyembuhan penyakit dengan antibiotik sering digunakan masyarakat. Ini disebabkan masyarakat begitu mudah mendapatkan antibiotik di pasaran. Saat terserang flu atau peradangan, orang dengan mudah mengobati dirinya sendiri dengan membeli antibiotik.
Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama jamur, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotika saat ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh.
Menurut dr Fajar Rudy Qimindra dari Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB), antibiotika yang ditemukan pada 1928 oleh Alexander Fleming ini, sekarang menghadapi masalah baru berupa kekebalan (resistansi). Karena penggunaannya yang bebas dan tidak sesuai dengan indikasi, sehingga efek dari resistansi ini adalah dikhawatirkan obat tersebut sudah tidak lagi efektif saat terjadi infeksi yang membutuhkan antibiotika.
Dikatakannya, selain bahaya kekebalan, efek lain yang bisa terjadi adalah timbulnya reaksi alergi. Alergi adakah mekanisme pertahanan tubuh yang terlalu sensitif. Ia bersifat individual (perseorangan) dan dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti debu, udang, telur, maupun obat-obatan sendiri. Alergi obat ini tidak tergantung pada dosisnya. Misalnya masyarakat menganggap yang mengandung 500 mg termasuk dosis tinggi dan dapat menimbulkan alergi dibanding 200 mg. Padahal setiap jenis antibiotika mempunyai dosis tersendiri yang spesifik.
Reaksi alergi yag timbul bisa bersifat ringan ataupun berat yang sampai mengancam jiwa. Yang ringan seperti gatal, mual, muntah, pusing dan sebagainya. Sedang reaksi yang berat disebut reaksi anafilaksis. Reaksi anafilaksis ini adalah timbulnya kondisi syok pada pasien, yaitu dalam hitungan detik pasien bisa langsung tidak sadar, tetapi begitu mendapat suntikan anti-nya ia akan sadar kembali.
Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dan dokter.Seorang dokter akan menanyakan riwayat adanya alergi obat atau tidak,dan pasien wajib mencatat dan mengingat ada riwayat alergi apa saja.
Pencegahan reaksi alergi yang lain, biasanya akan dilakukan tes kulit (skin test) untuk antibiotika yang berbentuk suntikan/injeksi. Cara sejumlah kecil dosis obat diencerkan kemudian disuntikkan di bawah kulit.
“Jika setelah dilakukan skin test si pasien mengidap alergi, maka timbul akan bentol-bentol di sekitar tempat suntikan. Jika sudah demikian maka pemberian antibiotika tersebut tidak akan diberikan. Dengan kata lain, jika antibiotika tersebut tidak cocok pada tubuh pasien, maka si pasien harus mendapatkan obat lain sebagai penggantinya,” ujar Qimi.
Dikatakan lebih lanjut, efek samping antibiotika dari penggunaan jangka panjang yang dipikirkan adalah pada organ tubuh yang memecah/mengeluarkan racunnya, yaitu ginjal. Perlu kewaspadaan apabila pada pasien tersebut sudah ada gejala kerusakan ginjal maka harus dipilih antibiotika yang sesuai.
Adapun jangka waktu penggunaan antibiotika ini sangat bervariasi, tergantung pada berat ringannya penyakit yang diderita.
“Untuk infeksi kuman yang ringan, penggunaan selama tiga sampai lima hari saja biasanya sudah cukup,” kata pria yang sehari-hari tugas di rumah sakit di kawasan Jl Jend Sudirman Balikpapan Selatan ini.
Sebenarnya, ungkap Qimi, penggunaan antibiotika secara benar dan rasional memang harus diberikan. Rasional di sini maksudnya, adalah harus sesuai dengan indikasi penyakitnya, sesuai dosisnya, sesuai cara pemberiannya, dan tetap memperhatikan efek sampingnya. Sehingga diharapkan masyarakat menjadi rasional dan tidak berlebihan dalam menggunakan antibiotika sesuai apa yang dikampanyekan oleh Badan kesehatan dunia,WHO.
Beberapa hal yang bisa dianjurkan dalam mengonsumsi antibiotik, antara lain sebaiknya jangan sembarangan minum antibiotika yang dibeli sendiri di apotek atau toko obat; untuk pertolongan awal gejala demam, batuk, flu boleh saja minum obat penangkalnya, tetapi jangan mengandalkan antibiotik; selalu berkonsultasi dengan dokter untuk setiap penggunaan antibiotika, dan tanyakan ke dokter tentang cara minum, lama minum dan lain-lain sehingga ada kejelasan.

akibat penggunaan antibiotik sembarangan

Saat ini kuman yang resistan terhadap obat terus bertambah jenisnya sehingga menyulitkan pengobatan dan biayanya pun semakin tinggi.
Demikian terungkap dalam seminar "Penggunaan Antimikroba secara Rasional" yang diselenggarakan Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Senin (21/6/2010) di Jakarta. Kegiatan itu terkait Symposium of Indonesia Antimicrobial Resistance Watch pada 2-4 Juli 2010.
Pakar mikrobiologi klinik, Prof Agus Sjahrurachman, mengatakan, resistensi terhadap antimikroba adalah hal alami karena mikroba mengembangkan mekanisme mempertahankan diri. Namun, ulah manusia ikut mempercepat terjadinya resistensi dan penyebarannya. Kecepatan resistensi tidak seimbang dengan laju penemuan obat antimikroba baru. Akibatnya, penanganan penyakit semakin sulit dan biayanya pun meningkat.
Beberapa contoh kuman yang resistan antara lain Salmonella typhi yang resistan terhadap chloramphenico dan Streptococcus pneumonia terhadap makrolida baru. Mycobacterium tuberculosis yang tadinya resistan rendah terhadap INH tingkat resistensinya semakin tinggi. Bahkan, ada kasus kuman yang resistan terhadap banyak obat, contohnya Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis yang resistan pada Methicillin, Staphylococcus aureus resistan pada Vancomycin.
"Bakteri resistan itu justru banyak di rumah sakit, terutama di ruang rawat intensif, karena kegiatan pengobatan. Kuman-kuman resistan di rumah sakit itu bisa terbawa ke luar rumah sakit, kemudian menyebar," ujarnya.
Selain itu, penggunaan antibiotik sembarangan, putus obat, lemahnya pengendalian infeksi di rumah sakit, promosi obat-obatan yang berakibat penggunaan terlalu masif, dan ketidaktepatan penanganan pasien juga mendorong percepatan resistansi.
Ahli penyakit dalam dari FKUI, Prof Djoko Widodo, mengungkapkan, resistansi terhadap antibiotik menjadi masalah yang terus meningkat. Guna mengendalikan resistansi itu, setiap rumah sakit seharusnya mempunyai peta kuman dengan pemeriksaan. Dengan peta kuman, diketahui kuman yang telah resistan dan pengendaliannya. Ini termasuk penatalaksanaan oleh dokter terhadap pasien.
Dokter spesialis mikrobiologi klinik, Anis Karuniawati, mengatakan, dengan adanya data hasil pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas terhadap antibiotik yang akurat, dapat disusun suatu kebijakan pemilihan antibiotik sesuai pola mikroba dan pola resistensi di rumah sakit.

Reaksi alergi antibiotika

Selain menimbulkan efek samping, ada sejumlah orang yang mengalami reaksi alergi setelah mengonsumsi antibiotika. Kalau sebelumnya seseorang sudah tahu alergi dengan antibiotika tertentu, sudah pasti ia tidak akan diberikan antibiotika tersebut.

Reaksi alergi yang ditimbulkan bisa bermacam-macam. Yang paling sering adalah gatal di kulit atau urtikaria. Yang berbahaya, apabila terjadi edema atau bengkak pada tenggorokan yang membuat seseorang seperti tercekik.

Reaksi lain, ada yang mencetuskan gejala asma, seperti sesak napas. Reaksi serius lainnya adalah sindrom Steven Johnson, yang membuat seluruh permukaan kulit pasien meradang. Bahkan, kemudian timbul vesikel seperti cacar air di seluruh tubuh. Apabila kondisi ini terjadi, pasien harus segera dirawat karena situasinya sudah darurat. Namun, yang paling ekstrem adalah muncul shock anafilaktik hingga berujung pada kematian.

Antibiotika golongan penisilin, disebutkan oleh Dr.J.Hudyono, MS.Sp.Ok, biasanya menimbulkan alergi. Itu sebabnya, para dokter lebih berani memberikan penisilin saat pasien berada di rumah sakit yang memiliki alat untuk kondisi gawat darurat.

Mengingat kemungkinan efek samping, termasuk reaksi alergi dan bahaya resisten, Dr.Hudyono memberikan sejumlah saran sebelum mengonsumsi antibiotika.

1. Konsumsi antibiotika sesuai dengan yang diresepkan oleh dokter, baik untuk dosis maupun lamanya.

2. Sertakan pula informasi kepada dokter jika Anda memiliki riwayat alergi terhadap antibiotika.

3. Jangan berinisiatif menggunakan antibiotika atas keinginan sendiri karena penyakit yang diderita saat ini belum tentu sama dengan penyakit sebelumnya.

4. Jangan memberikan antibiotika kepada anggota keluarga lain meski kasusnya hampir sama. Antibiotika itu belum tentu cocok bagi mereka. Apalagi kalau kemudian anggota keluarga tersebut memiliki alergi yang bisa membahayakan diri mereka.

5. Tidak meminta antibiotika kepada dokter. Ingat, antibiotika digunakan untuk infeksi bakteri dan bukan infeksi virus. Jadi, kalau sakit flu yang disebabkan oleh virus, tidak perlu antibiotika.

6. Ubah pola berpikir bahwa penyakit apa pun apabila tidak diberi antibiotika tidak bakal sembuh. Yang benar adalah, antibiotika digunakan sesuai dengan bakteri yang menginfeksinya

indikasi kapan kita perlu antibiotik.

Sering kali ketika tubuh memberikan sinyal sakit seperti hidung tersumbat, batuk, atau tenggorokan sakit, kita langsung mencari si obat super, antibiotik.

Antibiotik memang sangat efektif membunuh bakteri (selama obatnya cocok dengan jenis bakterinya). Namun, 90 persen infeksi pernapasan, seperti flu, disebabkan oleh virus. Penyakit virus adalah penyakit yang sembuh sendiri dalam 5-7 hari.

"Kebanyakan infeksi saluran pernapasan atas disebabkan virus, hanya sedikit saja yang disebabkan bakteri. Bahkan hanya 2 persen dari infeksi sinus yang ditimbulkan bakteri dan perlu antibiotik," kata Lauri Hicks, Direktur Medis Center for Disease Control and Prevention.

Banyak kerugian yang dihadapi akibat pemakaian antibiotik berlebihan atau irasional. Yang paling utama adalah meningkatnya resistensi terhadap bakteri dan terbunuhnya kuman yang baik dan berguna di dalam tubuh. Tempat yang semula ditempati bakteri baik ini akan diisi bakteri jahat atau disebut bakteri super karena bakteri yang tidak terbunuh akan bermutasi menjadi kuman yang resisten.

Kebanyakan infeksi bakteri memang memerlukan antibiotik. Sayangnya agak sulit membedakan infeksi virus dengan infeksi bakteri hanya berdasarkan gejalanya saja. Secara umum ini adalah lima indikasi kapan kita perlu antibiotik.

1. Demam
Apabila Anda mengalami demam, gemetar, dan menggigil, besar kemungkinan Anda terinfeksi bakteri. Tetapi, gejala ini juga sering diakibatkan oleh virus flu. Oleh karena itu, menurut Dr Frank Esper, ahli penyakit infeksi anak, jika di sekitar lingkungan Anda banyak yang sedang terjangkit flu, dokter tidak akan memberikan antibiotik.

2. Lamanya sakit
Infeksi virus yang berlangsung terlalu lama bisa berkembang menjadi serius dan mengundang bakteri, misalnya infeksi sinus. Indikasi pemberian antibiotik adalah jika batuk dan pilek sudah berkelanjutan selama lebih dari 10-14 hari dan terjadi sepanjang hari (bukan hanya pada malam dan pagi hari saja).

3. Warna lendir hijau
Sekresi saluran napas akibat infeksi virus seharusnya encer dan bening. Jika cairan hidung sudah berwarna hijau dan kental, itu adalah tanda infeksi bakteri. Namun, sering kali perubahan warna dahak dan ingus menjadi kental dan kehijaun ini merupakan perjalanan klinis ISPA karena virus. Itu sebabnya, gejala ini bukan indikasi utama pemberian antibiotika.

4. Sakit tenggorokan
Meski tenggorokan berwarna merah dan nyeri saat menelan, dokter akan mencari tanda bercak putih sebagai petunjuk adanya bakteri sebelum meresepkan antibiotik. Kebanyakan gejala flu diawali dengan sakit tenggorokan, namun nyeri tenggorokan yang tidak diikuti dengan gejala flu lainnya bisa jadi tanda infeksi bakteri.

5. Tes lab
Membawa contoh dahak atau cairan hidung ke laboratorium memang cara yang efektif untuk mengetahui ada-tidaknya bakteri. Namun, kultur bakteri ini membutuhkan waktu sedikitnya dua hari dan tentu saja memakan biaya. Oleh karena itu, biasanya dokter tidak meminta tes ini, kecuali Anda dicurigai terkena infeksi tifus.

Beberapa studi penggunaan antibiotik

Beberapa studi menunjukan, penggunaan antibiotik cenderung berlebihan dan umumnya diberikan pada penyakit atau kondisi yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotika.
Antibiotik adalah obat yang kuat dan telah menyelamatkan banyak jiwa. Tapi yang penting juga diketahui adalah, antibiotik bukanlah obat yang bisa menyembuhkan semua macam penyakit. Antibiotik hanya dapat menyembuhkan penyakit akibat infeksi bakteri.
"Gunakan antibiotik secara tepat untuk mencegah kekebalan kuman," ujar Prof. Iwan Prahasto, Guru Besar Farmakolgi Universitas Gajah Mada dalam acara workshop dan media briefing mengenai pola peresepan obat di Indonesia, khususnya antibiotik,
Di masyarakat, antibiotik kerap kali dibeli tanpa resep dan penjelasan. Masyarakat kerap membeli antibiotik dengan resep yang pernah didapat sebelumnya, mengkonsumsi antibiotik untuk batuk, demam dan pilek.
Lebih lanjut, Iwan menjelaskan bahwa penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Akibat yang bisa ditimbulkan adalah bakteri bermutasi sehingga ia menjadi tahan (kebal) terhadap antibiotik. Bakteri yang resisten atau kebal ini sulit dilemahkan oleh antibiotik biasa.

Iwan mengakui, informasi mengenai antibiotik sejauh ini belum merata kepada tenaga medis. "Tidak tersedianya cukup informasi mengenai obat yang bersifat netral juga menjadi salah satu masalah besar bagi praktisi medik. Sementara, informasi yang disampaikan secara langsung oleh industri farmasi melalui dutanya justru sering misleading atau menyesatkan," tambahnya.

Dr. Sharad Adhikary, perwakilan dari WHO, menegaskan, pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang kebal antibiotik biasanya akan menjadi amat mahal. Hal ini karena yang dibutuhkan adalah antibiotik yang lebih mutahir dengan kemungkinan efek samping obat lebih besar, serta lama pengobatan lebih panjang.
Menurut Sharad, masalah kekebalan terhadap antibiotik bukanlah masalah baru, tapi makin lama makin mengkhawatirkan dan membahayakan. "Kita dapat kembali ke era sebelum antibiotik ditemukan," tandasnya.
Kenapa bakteri bisa menjadi kebal terhadap antibiotik? Setiap kali seseorang mengonsumsi antibiotik, maka bakteri yang sensitif akan terbunuh. Tapi bakteri yang kebal akan terus hidup, tumbuh dan berkembang biak.
Penggunaan antibiotik yang berulang-ulang dan tidak tepat adalah penyebab utama peningkatan jumlah bakteri yang kebal terhadap obat. Jadi, bagi anda yang mengalami batuk, flu dan demam tidak perlu menkonsumsi antibiotik. Karena, dengan sering meminum antibiotik tidak akan membuat anda lebih sehat, dan tidak akan menjadikan anda lebih baik.

Yang perlu diperhatikan terhadap antibiotik

Kemampuan suatu terapi antimikrobial sangat bergantung kepada obat, pejamu, dan agen penginfeksi.Namun dalam keadaan klinik hal ini sangat sulit untuk diprediksi mengingat kompleksnya interaksi yang terjadi di antara ketiganya Namun pemilihan obat yang sesuai dengan dosis yang sepadan sangat berperan dalam menentukan keberhasilan terapi dan menghindari timbulnya resistansi agen penginfeksi
Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri.Literatur lain mendefinisikan antibiotik sebagai substansi yang bahkan di dalam konsentrasi rendah dapat menghambat pertumbuhan dan reproduksi bakteri dan fungi.Berdasarkan sifatnya (daya hancurnya) antibiotik dibagi menjadi dua:
1.   Antibiotik yang bersifat bakterisidal, yaitu antibiotik yang bersifat destruktif terhadap bakteri.
2.   Antibiotik yang bersifat bakteriostatik, yaitu antibiotik yang bekerja menghambat pertumbuhan atau multiplikasi bakteri.
Cara yang ditempuh oleh antibiotik dalam menekan bakteri dapat bermacam-macam, namun dengan tujuan yang sama yaitu untuk menghambat perkembangan bakteri. Oleh karena itu mekanisme kerja antibiotik dalam menghambat proses biokimia di dalam organisme dapat dijadikan dasar untuk mengklasifikasikan antibiotik sebagai berikut:
1.      Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Beta-laktam, Penicillin, Polypeptida, Cephalosporin, Oxasilin.
a)      Beta-laktam menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan pada enzim DD-transpeptidase yang memperantarai dinding peptidoglikan bakteri, sehingga dengan demikian akan melemahkan dinding sel bakteri Hal ini mengakibatkan sitolisis karena ketidakseimbangan tekanan osmotis, serta pengaktifan hidrolase dan autolysins yang mencerna dinding peptidoglikan yang sudah terbentuk sebelumnya. Namun Beta-laktam (dan Penicillin) hanya efektif terhadap bakteri gram positif, sebab keberadaan membran terluar (outer membran) yang terdapat pada bakteri gram negatif membuatnya tak mampu menembus dinding peptidoglikan.
b)      Penicillin meliputi natural Penicillin, Penicillin G dan Penicillin V, merupakan antibiotik bakterisidal yang menghambat sintesis dinding sel dan digunakan untuk penyakit-penyakit seperti sifilis, listeria, atau alergi bakteri gram positif/Staphilococcus/Streptococcus. Namun karena Penicillin merupakan jenis antibiotik pertama sehingga paling lama digunakan telah membawa dampak resistansi bakteri terhadap antibiotik ini. Namun demikian Penicillin tetap digunakan selain karena harganya yang murah juga produksinya yang mudah.
c)      Polypeptida meliputi Bacitracin, Polymixin B dan Vancomycin. Ketiganya bersifat bakterisidal. Bacitracin dan Vancomycin sama-sama menghambat sintesis dinding sel. Bacitracin digunakan untuk bakteri gram positif, sedangkan Vancomycin digunakan untuk bakteri Staphilococcus dan Streptococcus. Adapun Polymixin B digunakan untuk bakteri gram negatif.
d)     Cephalosporin (masih segolongan dengan Beta-laktam) memiliki mekanisme kerja yang hampir sama yaitu dengan menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri. Normalnya sintesis dinding sel ini diperantarai oleh PBP (Penicillin Binding Protein) yang akan berikatan dengan D-alanin-D-alanin, terutama untuk membentuk jembatan peptidoglikan. Namun keberadaan antibiotik akan membuat PBP berikatan dengannya sehingga sintesis dinding peptidoglikan menjadi terhambat.
e)      Ampicillin memiliki mekanisme yang sama dalam penghancuran dinding peptidoglikan, hanya saja Ampicillin mampu berpenetrasi kepada bakteri gram positif dan gram negatif. Hal ini disebabkan keberadaan gugus amino pada Ampicillin, sehingga membuatnya mampu menembus membran terluar (outer membran) pada bakteri gram negatif.
f)       Penicillin jenis lain, seperti Methicillin dan Oxacillin, merupakan antibiotik bakterisidal yang digunakan untuk menghambat sintesis dinding sel bakteri. Penggunaan Methicillin dan Oxacillin biasanya untuk bakteri gram positif yang telah membentuk kekebalan (resistansi) terhadap antibiotik dari golongan Beta-laktam.
g)      Antibiotik jenis inhibitor sintesis dinding sel lain memiliki spektrum sasaran yang lebih luas, yaitu Carbapenems, Imipenem, Meropenem. Ketiganya bersifat bakterisidal.
2.      Antibiotik yang menghambat transkripsi dan replikasi. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Quinolone,, Lincosamides, Metronidazole.
a)      Quinolone merupakan antibiotik bakterisidal yang menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara masuk melalui porins dan menyerang DNA girase dan topoisomerase sehingga dengan demikian akan menghambat replikasi dan transkripsi DNA Quinolone lazim digunakan untuk infeksi traktus urinarius.
b)      Rifampicin (Rifampin) merupakan antibiotik bakterisidal yang bekerja dengan cara berikatan dengan β-subunit dari RNA polymerase sehingga menghambat transkripsi RNA dan pada akhirnya sintesis protein. Rifampicin umumnya menyerang bakteri spesies Mycobacterum.
c)      Nalidixic acid merupakan antibiotik bakterisidal yang memiliki mekanisme kerja yang sama dengan Quinolone, namun Nalidixic acid banyak digunakan untuk penyakit demam tipus.
d)     Lincosamides merupakan antibiotik yang berikatan pada subunit 50S  dan banyak digunakan untuk bakteri gram positif, anaeroba Pseudomemranous colitis. Contoh dari golongan Lincosamides adalah Clindamycin.
e)      Metronidazole merupakan antibiotik bakterisidal diaktifkan oleh anaeroba dan berefek menghambat sintesis DNA.
3.      Antibiotik yang menghambat sintesis protein. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Macrolide, Aminoglycoside, Tetracycline,
a)      Macrolide, meliputi Erythromycin dan Azithromycin, menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan pada subunit 50S ribosom, sehingga dengan demikian akan menghambat translokasi peptidil tRNA yang diperlukan untuk sintesis protein. Peristiwa ini bersifat bakteriostatis, namun dalam konsentrasi tinggi hal ini dapat bersifat bakteriosidal. Macrolide biasanya menumpuk pada leukosit dan akan dihantarkan ke tempat terjadinya infeksi. Macrolide biasanya digunakan untuk Diphteria, Legionella mycoplasma, dan Haemophilus.
b)      Aminoglycoside meliputi Streptomycin, Neomycin, dan Gentamycin, merupakan antibiotik bakterisidal yang berikatan dengan subunit 30S/50S sehingga menghambat sintesis protein. Namun antibiotik jenis ini hanya berpengaruh terhadap bakteri gram negatif.
c)      Tetracycline merupakan antibiotik bakteriostatis yang berikatan dengan subunit ribosomal 16S-30S dan mencegah pengikatan aminoasil-tRNA dari situs A pada ribosom, sehingga dengan demikian akan menghambat translasi protein. Namun antibiotik jenis ini memiliki efek samping yaitu menyebabkan gigi menjadi berwarna dan dampaknya terhadap ginjal dan hati.
d)     Chloramphenicol merupakan antibiotik bakteriostatis yang menghambat sintesis protein dan biasanya digunakan pada penyakit akibat kuman Salmonella.
4.      Antibiotik yang menghambat fungsi membran sel. Contohnya antara lain Ionimycin dan Valinomycin. Ionomycin bekerja dengan meningkatkan kadar kalsium intrasel sehingga mengganggu kesetimbangan osmosis dan menyebabkan kebocoran sel.
5.      Antibiotik yang menghambat bersifat antimetabolit. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Sulfa atau Sulfonamide, Trimetophrim, Azaserine.
a)      Pada bakteri, Sulfonamide bekerja dengan bertindak sebagai inhibitor kompetitif terhadap enzim dihidropteroate sintetase (DHPS). Dengan dihambatnya enzim DHPS ini menyebabkan tidak terbentuknya asam tetrahidrofolat bagi bakteri. Tetrahidrofolat merupakan bentuk aktif asam folat, di mana fungsinya adalah untuk berbagai peran biologis di antaranya dalam produksi dan pemeliharaan sel serta sintesis DNA dan protein. Biasanya Sulfonamide digunakan untuk penyakit Neiserria meningitis.
b)      Trimetophrim juga menghambat pembentukan DNA dan protein melalui penghambatan metabolisme, hanya mekanismenya berbeda dari Sulfonamide. Trimetophrim akan menghambat enzim dihidrofolate reduktase yang seyogyanya dibutuhkan untuk mengubah dihidrofolat (DHF) menjadi tetrahidrofolat (THF).
c)      Azaserine (O-diazo-asetyl-I-serine) merupakan antibiotik yang dikenal sebagai purin-antagonis dan analog-glutamin. Azaserin mengganggu jalannya metabolisme bakteri dengan cara berikatan dengan situs yang berhubungan sintesis glutamin, sehingga mengganggu pembentukan glutamin yang merupakan salah satu asam amino dalam protein.
Yang perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik adalah dosis serta jenis antibiotik yang diberikan haruslah tepat. Jika antibiotik diberikan dalam jenis yang kurang efektif atau dosis yang tanggung maka yang terjadi adalah bakteri tidak akan mati melainkan mengalami mutasi atau membentuk kekebalan terhadap antibiotik tersebut.
Daftar Pustaka


~Mueller M, De la Pena A, Derendorf H. Issues in pharmacokinetics and pharmacodynamics of anti-infective agents: kill curves versus MIC. Antimicrobial agents and chemotherapy 2004;48:369-77. ~Craig WA. Choosing an antibiotic on the basis of pharmacodynamics. Ear NoseThroat J 1998;77:7-11.
~ Van Saene HKF, Silvestri L, De la Cal MA. In: Gullo A, editor. Infection control in the intensive care unit. 2nd ed. Milan: Springer; 2005. p. 91-155.

daripada bakteri menjadi resisten?

Saat menerima obat yang diresepkan dokter, kita selalu membaca perintah untuk dihabiskan pada obat-obatan antibiotika. Kalau obat itu kita konsumis sendiri, tak masalah.

Persoalan kerap muncul saat memberikan obat-obatan itu pada anak. Seringkali, kita dibuat menyerah dan tak melanjutkannya karena penolakan gigih sang anak. Padahal hal ini sungguh tak menguntungkan bagi kesehatan. Mengapa?

Dokter Robert W Steele MD, pakar kesehatan anak di St John's Regional Health Center di Springfield menyatakan, kebanyakan bakteri penyakit sederhana (radang tenggorokan, infeksi telinga, dll) menanggapi relatif cepat terhadap antibiotik. "Jadi, ketika Anda atau anak Anda mulai merasa baik setelah mengonsumsi antibiotik untuk beberapa hari, sangat sulit untuk mengingatkan diri Anda untuk menyelesaikan obat yang mungkin masih harus dikonsumsi beberapa hari kemudian," ujarnya.

Namun ia mengingatkan tiga point jika obat itu tak diselesaikan sampai habis.

Pertama
, semua bakteri yang menyebabkan infeksi mungkin tidak terbunuh. Akibatnya kemudian, infeksi bisa datang kembali di tempat yang sama atau bahkan muncul di tempat lain.

Kedua, akan terjadi resistensi bakteri itu atas antibiotik. Anda harus tahu, cara terbaik untuk menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik adalah dengan "memperlakukan mereka secara salah". Bakteri berkembang biak sangat cepat. Ketika mereka berkembang biak, kesalahan acak terjadi di DNA mereka yang dapat membuat mereka resisten terhadap antibiotik. Cara terbaik untuk menjaga hal ini tak terjadi pada anak Anda ketika dia mengalami infeksi adalah untuk memberikan semua dosis tepat waktu. "Hal ini akan membunuh bakteri dengan cepat dan efisien. Ketika bakteri undertreated, beberapa dari mereka mungkin memiliki cukup waktu untuk memiliki kesalahan-kesalahan ini terjadi di DNA mereka," ujarnya.

Ketiga, membuat bakteri makin tangguh. Beberapa bakteri dapat membuat sistem kekebalan tubuh melakukan hal-hal yang tidak seharusnya. Sebuah contoh klasik dari hal ini adalah ketika radang tenggorokan menyebabkan demam rematik. Penyebab penyakit ini tidak sepenuhnya dipahami, namun diperkirakan bahwa ada bagian dari tubuh yang memiliki komponen yang secara kimiawi mirip dengan kuman yang menyebabkan radang tenggorokan, Grup A Streptococcus bakteri. Jadi, ketika sistem kekebalan mulai melawan bakteri ini, itu membingungkan tubuh (khususnya bagian-bagian tertentu dari otak, sendi, ginjal, dan jantung) dengan bakteri yang menyebabkan kerusakan pada bagian-bagian tubuh. Butuh beberapa saat untuk proses ini terjadi, sehingga adalah umum untuk gejala demam rematik akut muncul pada hari-hari setelah infeksi tenggorokan. Namun, hampir tidak pernah terjadi ketika radang tenggorokan awal benar-benar diobati dengan antibiotik.

Khusus radang tenggorokan, Steele menceritakan hal yang disebutnya "lucu", yaitu bahwa tubuh akan membunuh semua bakteri itu sendiri tanpa antibiotik. Antibiotik  hanya membunuh mereka lebih cepat yang penting untuk menjaga demam rematik terjadi. Jika semua obat tidak dihabiskan, maka risikonya adalah terkena demam rematik yang lebih tinggi.

Bagaimana mengantisipasi hal ini? Steele memberi beberapa catatan:


* Banyak infeksi dapat diobati dengan salah satu dari beberapa obat. Tanyakan kepada dokter Anda jika ia bisa memberi sesuatu yang hanya dikonsumsi sekali atau dua kali per hari. dosis lebih sedikit membantu untuk tidak terlewatkan waktu minum obat.

* Tanyakan apakah obat harus didinginkan. Beberapa obat efektif jika diminum dalam suhu dingin.
* Buatlah sebuah kalender antibiotik terpisah dan taruh di tempat yang menonjol di rumah Anda, sehingga Anda selalu ingat kapan saatnya obat harus diminum. Repot sedikit tak mengapa, kan, daripada bakteri menjadi resisten?

Minggu, 20 Maret 2011

BAKTERI GRAM




Jasad hidup yang ukurannya kecil sering disebut sebagai mikroba atau mikroorganisme atau jasad renik. Jasad renik disebut sebagai mikroba bukan hanya karena ukurannya yang kecil, sehingga sukar dilihat dengan mata biasa, tetapi juga pengaturan kehidupannya yang lebih sederhana dibandingkan dengan jasad tingkat tinggi. Mata biasa tidak dapat melihat jasad yang ukurannya kurang dari 0,1 mm. Ukuran mikroba biasanya dinyatakan dalam mikron ( ), 1 mikron adalah 0,001 mm. Sel mikroba umumnya hanya dapat dilihat dengan alat pembesar atau mikroskop, walaupun demikian ada mikroba yang berukuran besar sehingga dapat dilihat tanpa alat pembesar.
Whittaker membagi jasad hidup menjadi tiga tingkat perkembangan, yaitu: (1) jasad prokariotik yaitu bakteri dan ganggang biru (Divisio Monera), (2) Jasad eukariotik uniseluler yaitu algae sel tunggal, khamir dan protozoa (Divisio Protista), dan (3) Jasad eukariotik multiseluler dan multinukleat yaitu Divisio Fungi, Divisio Plantae, dan Divisio Animalia. Sedangkan Woese menggolongkan jasad hidup terutama berdasarkan susunan kimia makromolekul yang terdapat di dalam sel. Pembagiannya yaitu terdiri Arkhaebacteria, Eukaryota (Protozoa, Fungi, Tumbuhan dan Binatang), dan Eubacteria.
Bakteri merupakan mikroba prokariotik uniselular yang berkembang biak secara aseksual dengan pembelahan sel. Bakteri tidak berklorofil kecuali beberapa yang bersifat fotosintetik. Bakteri ada yang dapat hidup bebas, parasit, saprofit, patogen pada manusia, hewan dan tumbuhan. Bakteri tersebar luas di alam, dalam tanah, atmosfer (sampai + 10 km diatas bumi), di dalam lumpur, dan di laut. Bakteri mempunyai bentuk bulat, batang, dan lengkung, namun bentuk bakteri juga dapat dipengaruhi oleh umur. Bakteri dapat mengalami perubahan bentuk yang disebabkan faktor makanan, suhu, dan lingkungan, juga dapat mengalami pleomorfi, yaitu bentuk yang bermacam-macam dan teratur walaupun ditumbuhkan pada syarat pertumbuhan yang sesuai. Umumnya bakteri berukuran 0,5-10 μ. Bakteri diklasifikasikan berdasarkan deskripsi sifat morfologi dan fisiologi. Bakteri dibagi menjadi 1 kelompok (grup), dengan Cyanobacteria pada grup 20. Pembagian ini berdasarkan bentuk, sifat gram, kebutuhan oksigen, dan apabila tidak dapat dibedakan menurut ketiganya maka dimasukkan ke dalam kelompok khusus.


A. PENGERTIAN BAKTERI
I. Sel Prokariotik
Sel prokariotik berukuran lebih kecil dari sel eukariotik. Sel ini tidak mempunyai organela seperti mitokondria, khloroplas dan aparat golgi.
Inti sel prokariotik tidak mempunyai membran. Bahan genetis terdapat di dalam sitoplasma, berupa untaian ganda (double helix) DNA berbentuk lingkaran yang tertutup. “Kromosom” bakteri pada umumnya hanya satu, tetapi juga mempunyai satu atau lebih molekul DNA yang melingkar (sirkuler) yang disebut plasmid. Sel prokariotik tidak mengandung organel yang dikelilingi oleh membran. Ribosom yang dimiliki sel prokariot lebih kecil yaitu berukuran 70S. Ukuran genom sel prokariot berbeda dengan sel eukariot. Jumlah DNA penyusun pada sel prokariot berkisar antara 0,8-8.106 pasangan basa (pb) DNA. Sel prokariotik tidak seluruhnya membutuhkan oksigen, misalnya pada bakteri anaerob.
II. Struktur Sel
1. Membran Sel Prokariotik
Pada beberapa bakteri, membran mengelilingi sitoplasma tanpa menunjukkan adanya lipatan. Membran pada bakteri lain mengalami pelipatan ke dalam yang disebut mesosom. Pada bakteri fotosintetik, khlorofil tidak terdapat dalam suatu khloroplas, melainkan terdapat dalam membran yang sangat berlipat-lipat di dalam sel, yang disebut membran tilakoid. Sistem fotosintetik pada bakteri disamping menggunakan khlorofil, juga karotenoid. Keduanya mengandung sistem transport elektron yangmenghasilkan ATP pada proses fotosintesis.
2. Dinding Sel
Dinding sel bakteri bersifat agak elastis dan tidak bersifat permeable terhadap garam dan senyawa tertentu dengan berat molekul rendah. Secara normal konsentrasi garam dan gula yang menentukan tekanan osmotik di dalam sel lebih tinggi daripada di luar sel. Apabila tekanan osmose di luar sel naik, air sel akan mengalir keluar, protoplasma mengalami pengkerutan, dan membran akan terlepas dari dinding sel. Proses ini disebut dengan plasmolisis.
Dinding sel bakteri gram positif: Dinding sel bakteri gram positif terdiri 40 lapis rangka dasar murein, meliputi 30-70 % berat kering dinding sel bakteri. Senyawa lain penyusun dinding sel gram positif adalah polisakarida yang terikat secara kovalen, dan asam teikoat yang sangat spesifik.
Dinding sel bakteri gram negatif: Dinding sel bakteri gram negatif hanya terdiri atas satu lapis rangka dasar murein, dan hanya meliputi + 10% dari berat kering dinding sel. Murein hanya mengandung diaminopemelat, dan tidak mengandung lisin. Di luar rangka murein tersebut terdapat sejumlah besar lipoprotein, lipopolisakarida, dan lipida jenis lain. Senyawa-senyawa ini merupakan 80 % penyusun dinding sel. Asam teikoat tidak terdapat dalam dinding sel ini.
4. Flagel dan Pili
Flagel merupakan salah satu alat gerak bakteri. Letak flagel dapar polar, bipolar, peritrik, maupun politrik. Flagel mengakibatkan bakteri dapat bergerak berputar. Penyusun flagel adalah sub unit protein yang disebut flagelin, yang mempunyai berat molekul rendah. Ukuran flagel berdiameter 12-18 nm dan panjangnya lebih dari 20 nm. Pada beberapa bakteri, permukaan selnya dikelilingi oleh puluhan sampai ratusan pili, dengan panjang 12 nm. Pili disebut juga sebagai fimbrae. Sex-pili berperan pada konjugasi sel. Pada bakteri Escherichia coli strain K-12 hanya dijumpai 2 buah pili.
5. Kapsul dan Lendir
Beberapa bakteri mengakumulasi senyawa-senyawa yang kaya akan air, sehingga membentuk suatu lapisan di permukaan luar selnya yang disebut sebagai kapsul atau selubung berlendir. Fungsinya untuk kehidupan bakteri tidak begitu esensial, namun menyebabkan timbulnya sifat virulen terhadap inangnya. Keberadaan kapsul mudah diketahui dengan metode pengecatan negatif menggunakan tinta cina atau nigrosin. Kapsul akan tampak transparan diantara latar belakang yang gelap. Pada umumnya penyusun utama kapsul adalah polisakarida yang terdiri atas glukosa, gula amino, rhamnosa, serta asam organik seperti asam piruvat dan asam asetat. Ada pula yang mengandung peptida, seperti kapsul pada bakteri Bacillus sp. Lendir merupakan kapsul yang lebih encer. Adakalanya kapsul bakteri dapat dipisahkan dengan metode penggojokan kemudian diekstrak untuk menghasilkan lendir.
 Klasifikasi Bakteri
1. Bakteri berbentuk kokus (bulat)
a. Bakteri kokus gram positif
Aerobik: Micrococcus, Staphylococcus, Streptococcus, Leuconostoc
Anaerobik: Methanosarcina, Thiosarcina, Sarcina, Ruminococcus
b. Bakteri kokus gram negatif
Aerobik: Neisseria, Moraxella, Acinetobacter, Paracoccus (grup 10)
Anaerobik: Veillonella, Acidaminococcus, Megasphaera (grup 11)

2. Bakteri berbentuk batang
a. Bakteri gram positif
1. Bakteri gram positif tidak membentuk spora (grup 16)
Aerobik: Lactobacillus, Listeria, Erysipelothrix, Caryophanon.
2. Bakteri Coryneform dan actinomycetes (grup 17)
Aerobik Coryneform: Corynebacterium, Arthrobacter, Brevibacterium, Cellulomonas, Propionibacterium, Eubacterium, Bifidobacterium.
Aerobik Actinomycetes: Mycobacterium, Nocardia, Actinomyces, Frankia, Actinoplanes, Dermatophilus, Micromonospora, Microbispora, Streptomyces, Streptosporangium.
3. Bakteri pembentuk endospora (grup 15)
Aerobik: Bacillus, Sporolactobacillus, Sporosarcina, Thermoactinomyces
Anaerobik: Clostridium, Desulfotomaculum, Oscillospira
b. Bakteri gram negatif
1. Bakteri gram negatif aerobik (grup 7)
Aerobik: Pseudomonas, Xanthomonas, Zoogloea, Gluconobacter, Acetobacter, Azotobacter, Azomonas, Beijerinckia, Derxia, Rhizobium, Agrobacterium, Alcaligenes, Brucella, Legionella, Thermus.
2. Bakteri gram negatif aerobik khemolitotrofik (grup12)
Aerobik: Nitrobacter, Nitrospira, Nitrococcus, Nitrosomonas, Nitrosospira, Nitrosococcus, Nitrosolobus.
3. Bakteri berselubung (grup 3)
Aerobik: Sphaerotilus, Leptothrix, Cladothrix, Crenothrix.
4. Bakteri gram negatif fakultatif anaerobik (grup 8 )
Fakultatif anaerobik: Escherichia coli, Klebsiella, Enterobacter, Salmonella, Shigella, Proteus, Serratia, Erwinia, Yersinia, Vibrio, Aeromonas, Photobacterium.
5. Bakteri gram negatif anaerobik (grup 9)
Sangat Anaerobik: Bacteroides, Fusobacterium, Leptotrichia
6. Bakteri Methanogens dan arkaebakteria (grup 13)
Sangat Anaerobik: Methanobacterium, Methanothermus, Methanosarcina, Methanothrix, Methanococcus.
Aerobik: Halobacterium, Halococcus, Thermoplasma.
Anaerobik: Thermoproteus, Pyrodictium, Desulforococcus.

3. Bakteri berbentuk lengkung
a. Bakteri gram negatif spiril dan lengkung (grup 6)
Aerobik: Spirillum, Aquaspirillum, Azospirillum, Oceanospirillum, Campylobacter, Bdellovibrio, Microcyclus, Pelosigma.
b. Bakteri gram negatif lengkung anaerobik (grup 9)
Anaerobik: Desulfovibrio, Succinivibrio, Butyrivibrio, Selenomonas.
c. Spirochaeta (grup 5)
Aerobik dan anaerobik: Spirochaeta, Cristispira, Treponema, Borrelia, Leptospira.
4. Bakteri yang termasuk kelompok khusus


a. Bakteri yang merayap (meluncur) (grup 2)
Bakteri ini dapat merayap walaupun tidak berflagela. Bakteri ini selalu bersifat gram negatif. Dalam kelompok ini termasuk beberapa ganggang biru, beberapa bakterikhemoorganotrof dan beberapa bakteri belerang (sulfur). Kelompok bakteri yang menjadi anggota bakteri merayap (meluncur) adalah sbb:
1. Bakteri yang mengandung sulfur intraselular, berbentuk benang. Contoh: Beggiatoa, Thiothrix, Achromatium.
2. Bakteri bebas sulfur, membentuk trikoma (bulu). Contoh: Vitreoscilla, Leucothrix, Saprospira.
3. Bakteri uniselular, bentuk batang pendek. Contoh: Cytophaga, Flexibacter, Myxobacteria.
4. Bakteri fototrof yang bergerak merayap. Contoh: Chloroflexus
5. Cyanobacteria yang bergerak merayap. Contoh: Oscillatoria.
b. Bakteri bertangkai atau bertunas (grup 4)
Bakteri ini mempunyai struktur mirip tangkai atau tunas yang merupakan tonjolan dari sel, atau hasil pengeluaran lendir. Contoh: Hypomicrobium, Caulobacter, Prosthecomicrobium, Ancalomicrobium, Gallionella, Nevskia.
c. Bakteri parasit obligat: Rickettsiae dan Chlamydiae (grup 18)
Merupakan bakteri yang berukuran paling kecil, tetapi lebih besar dari virus, yaitu 0,3×2μ. Bentuk sel pleomorfik, dapat berupa batang, kokus, atau filamen. Bakteri ini cara hidupnya sebagai parasit sejati (parasit obligat) di dalam sel jasad lain dan bersifat patogen. Hidupnya intraselular di dalam sitoplasma dan inti sel binatang dan manusia. Oleh karena itu bakteri kelompok ini merupakan penyebab penyakit, yang biasanya ditularkan oleh vektor serangga. Contoh: Rickettsia prowazekii, Chlamydia trachomatis, Coxiella burnetii.
d. Mycoplasma (klas Mollicutes) (grup 19)
Mycoplasma disebut juga PPLO (Pleuropneumonia Like Organisms). Cirinya yaitu tidak mempunyai dinding sel, atau merupakan bentuk L dari bakteri sejati (Eubakteria) atau bentuk speroplas sel eubakteria, sehingga sifatnya mirip bakteri sejati. Mycoplasma berukuran 0,001-7μ . Umumnya lebih besar dari Rickettsiae dan dapat dicat dengan cat anilin. Ukuran koloni mencapai 10-600μNOSelnya berbentuk kokus, filamen, roset, dan sangat pleomorfik. Selnya dapat memperbanyak diri dengan pembelahan biner, fragmentasi, dan perkecambahan. Cara hidupnya sebagai saprofit atau patogen. Contoh: Mycoplasma mycoides, M. homonia, M. orale, Acholeplasma, Spiroplasma.
Bakteri bentuk L atau bakteri dalam bentuk protoplas, tidak berdinding sel. Hal ini dapat terjadi karena mutasi atau dibuat. Contohnya (a) Mycobacterium tuberculosis dalam medium dengan tegangan muka rendah dan ditambah lisosim serta EDTA, (b) Strain mutan Staphylococcus aureus dalam medium dengan penisilin G.
e. Bakteri anaerobik anoksigenik fototrofik (grup 1)
Bakteri ini mempunyai ciri berpigmen fotosintetik. Ada yang berbentuk kokus, batang, dan lengkung. Berdasarkan sifat fisiologinya dapat dibagi menjadi:
1. Familia Thiorhodaceae (bakteri sulfur ungu). Contoh: Thiospirillum sp., Chromatium sp.
2. Familia Athiorhodaceae/Rhodospirillaceae (bakteri sulfur non-ungu). Contoh: Rhodospirillum, Rhodopseudomonas.
3. Familia Chlorobiaceae (bakteri sulfur hijau). Contoh: Chlorobium, Chloropseudomonas, Chlorochromatium.
f. Bakteri aerobik oksigenik fototrofik: Cyanobacteria (grup 20)
Bakteri ini termasuk Myxophyceae atau Cyanophyceae. Sifatnya yang mirip bakteri adalah dinding selnya terdiri mukokompleks, tidak berdinding inti, tidak ada mitokondria dan kloroplas. Sifatnya yang berbeda adalah dapat berfotosintesa mirip tumbuhan tingkat tinggi, dan menghasilkan O2. Bakteri ini mempunyai klorofil a dan fikobilin (fikosianin dan fikoeritrin). Bentuk selnya tunggal (uniselular), koloni, dan benang-benang (filamen). Selnya dapat bergerak meluncur tetapi sangat lambat (250 μ per menit), meskipun tidak berflagela. Cara hidupnya bebas, dan berasosiasi simbiosis. Umumnya dapat menambat nitrogen dari udara, dan bersifat fotoautotrof obligat. Contoh: Gloeobacter, Gloeocapsa, Dermocarpa, Spirulina, Nostoc, Anabaena, Oscillatoria, Calothrix, Cylindrospermum. Anabaena azollae dapat bersimbiosis dengan tanaman paku air Azolla sp. dan Nostoc bersimbiosis dengan jamur membentuk Lichenes.




B. PEWARNAAN BAKTERI GRAM
Mikroorganisme yang ada di alam ini mempunyai morfologi, struktur dan sifat-sifat yang khas, termasuk bakteri. Bakteri yang hidup hampir tidak berwarna dan kontras dengan air, dimana sel-sel bakteri tersebut disuspensikan. Salah satu cara untuk melihat dan mengamati bentuk sel bakteri  dalam keadaan hidup sangat sulit, sehingga untuk diidentifikasi ialah dengan metode pengecatan atau pewarnaan sel bekteri, sehingga sel dapat terlihat jelas dan mudah diamati. Hal tersebut juga berfungsi untuk mengetahui sifat fisiologisnya yaitu mengetahui reaksi dinding sel bakteri melalui serangkaian pengecatan. Oleh karena itu teknik pewarnaan sel bakteri ini merupakan salahsatu cara yang paling utama dalam penelitian-penelitian mikrobiologi.
Struktur di dalam sel pada tempat-tempat yang dibentuk oleh spesies ini, disebut endospora. Endospora dapat bertahan hidup dalam keadaan kekurangan nutrien, tahan terhadap panas, kekeringan, radiasi UV serta bahan-bahan kimia. Ketahanan tersebut disebabkan oleh adanya selubung spora yang tebal dan keras. Sifat-sifat ini menyebabkan dibutuhkannya perlakuan yang keras untuk mewarnainya. Hanya bila diperlukan panas yang cukup, pewarna yang sesuai dapat menembus endospora. Tetapi sekali pewarna memasuki endospora, sukar untuk dihilangkan. Ukuran dan letak endospora di dalam sel merupakan ciri-ciri yang digunakan untuk membedakan spesies-spesies bakteri yang membentuknya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pewarnaan bakteri yaitu fiksasi, peluntur warna , substrat, intensifikasi pewarnaan dan penggunaan zat warna penutup. Suatu preparat yang sudah meresap suatu zat warna, kemudian dicuci dengan asam encer maka semua zat warna terhapus. sebaliknya terdapat juga preparat yang tahan terhadap asam encer. Bakteri-bakteri seperti ini dinamakan bakteri tahan asam, dan hal ini merupakan ciri yang khas bagi suatu spesies.
Teknik pewarnaan warna pada bakteri dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu pengecatan sederhana, pengecatan negatif, pengecatan diferensial dan pengecatan struktural. Pemberian warna pada bakteri atau jasad- jasad renik lain dengan menggunakan larutan tunggal suatu pewarna pada lapisan tipis, atau olesan, yang sudah difiksasi, dinamakan pewarnaan sederhana. Prosedur pewarnaan yang menampilkan perbedaan di antara sel-sel microbe atau bagian-bagian sel microbe disebut teknik pewarnaan diferensial. Sedangkan pengecatan struktural hanya mewarnai satu bagian dari sel sehingga dapat membedakan bagian-bagian dari sel. Termasuk dalam pengecatan ini adalah pengecatan endospora, flagella dan pengecatan kapsul.
Macam-macam pewarnaan:

1. Pewarnaan negatif
- Bakteri tidak diwarnai, tapi mewarnai latar belakang
- Ditujukan untuk bakteri yang sulit diwarnai, seperti spirochaeta
Cara pewarnaan negatif
- Sediaan hapus → teteskan emersi → lihat dimikroskop
Pewarnaan negatif, metode ini bukan untuk mewarnai bakteri tetapi mewarnai latar belakangnya menjadi hitam gelap. Pada pewarnaan ini mikroorganisme kelihatan transparan (tembus pandang). Teknik ini berguna untuk menentukan morfologi dan ukuran sel. Pada pewarnaan ini olesan tidak mengalami pemanasan atau perlakuan yang keras dengan bahan-bahan kimia, maka terjadinya penyusutan dan salah satu bentuk agar kurang sehingga penentuan sel dapat diperoleh dengan lebih tepat. Metode ini menggunakan cat nigrosin atau tinta cina.

2. Pewarnaan sedehana
- Menggunakan satu macam zat warna (biru metilen/air fukhsin)
- Tujuan hanya untuk melihat bentuk sel
Pewarnaan sederhana, merupakan pewarna yang paling umum digunakan. Berbagai macam tipe morfologi bakteri (kokus, basil, spirilum, dan sebagainya) dapat dibedakan dengan menggunakan pewarna sederhana, yaitu mewarnai sel-sel bakteri hanya digunakan satu macam zat warna saja. Kebanyakan bakteri mudah bereaksi dengan pewarna-pewarna sederhana karena sitoplasmanya bersifat basofilik (suka akan basa) sedangkan zat-zat warna yang digunakan untuk pewarnaan sederhana umumnya bersifat alkalin (komponen kromoforiknya bermuatan positif).

3. Pewarnaan Tahan Asam
Pewarnaan ini dilakukan pada bakteri tahan asam dalam proses warna akibat Alkohol-asam, dan penggunaan pembalik warna pada tahap akhir dari proses  sehingga menghasilkan warna merah.
4. Pewarnaan structural/khusus
- Untuk mewarnai struktur khusus/tertentu dari bakteri→ kapsul, spora, flagel dll
i)        Pewarnaan kapsul
Pewarnaan ini menggunakan larutan Kristal violet panas, lalu larutan tembaga sulfat sebagai pembilasan menghasilkan warna biru pucat pada kapsul, karena jika pembilasan dengan air dapat melarutkan kapsul. Garam tembaga juga memberi warna pada latar belakang. Yang berwana biru gelap.
ii)       Pewarnaan spora
Dinding spora relative tidak permeable, namun zat warna bias menembusnya dengan cara memanaskan preparat.
iii)     Pewarnaan flagel
Pewarnaan flagel dengan memberi suspense koloid garam asam tanat yang tidak stabil, sehingga terbentuk presipitat tebal pada dinding sel dan flagel.
iv)     Pewarnaan nucleoid
Pewarnaan nucleoid menggunakan pewarna fuelgen yang khusus untuk DNA.

5. Pewarnaan diferensial
- menggunakan lebih dari satu macam zat warna
- Tujuan untuk membedakan antar bakteri
- Contoh: Pewarnaan Gram, Pewarnaan Bakteri Tahan Asam
Tujuan dari pewarnaan adalah untuk memudahkan melihat bakteri dengan mikroskop, memperjelas ukuran dan bentuk bakteri, untuk melihat struktur luar dan struktur dalam bakteri seperti dinding sel dan vakuola, menghasilkan sifat-sifat fisik dan kimia yang khas daripada bakteri dengan zat warna, serta meningkatkan kontras mikroorganisme dengan sekitarnya.
Pewarnaan Gram atau metode Gram adalah suatu metode untuk membedakan spesies bakteri menjadi dua kelompok besar, yakni gram-positif dan gram-negatif, berdasarkan sifat kimia dan fisik dinding sel mereka. Metode ini diberi nama berdasarkan penemunya, ilmuwan Denmark Hans Christian Gram (1853–1938) yang mengembangkan teknik ini pada tahun 1884 untuk membedakan antara pneumokokus dan bakteri Klebsiella pneumoniae.
Dengan metode pewarnaan Gram, bakteri dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bakteri Gram positif dan Gram negatif berdasarkan reaksi atau sifat bakteri terhadap cat tersebut. Reaksi atau sifat bakteri tersebut ditentukan oleh komposisi dinding selnya. Oleh karena itu, pengecatan Gram tidak bisa dilakukan pada mikroorganisme yang tidak mempunyai dinding sel seperti Mycoplasma sp Contoh bakteri yang tergolong bakteri tahan asam, yaitu dari genus Mycobacterium dan beberapa spesies tertentu dari genus Nocardia. Bakteribakteri dari kedua genus ini diketahui memiliki sejumlah besar zat lipodial (berlemak) di dalam dinding selnya sehingga menyebabkan dinding sel tersebut relatif tidak permeabel terhadap zat-zat warna yang umum sehingga sel bakteri tersebut tidak terwarnai oleh metode pewarnaan biasa, seperti pewarnaan sederhana atau Gram.
Zat warna adalah senyawa kimia berupa garam-garam yang salah satu ionnya berwarna. Garam terdiri dari ion bermuatan positif dan ion bermuatan negatif. Senyawa-senyawa kimia ini berguna untuk membedakan bakteri-bakteri karena reaksinya dengan sel bakeri akan memberikan warna berbeda. Perbedaan inilah yang digunakan sebagai dasar pewarnaan bakteri. Sel-sel warna dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu asam dan basa. Jika warna terletak pada muatan positif dari zat warna, maka disebut zat warna basa. Jika warna terdapat pada ion negatif, maka disebut zat warna asam. Contoh zat warna basa adalah methylen blue, safranin, netral red, dan lain-lain. Sedangkan anionnya pada umumnya adalah Cl-, SO4 -, CH3COO-, COOHCOO. Zat warna asam umumnya mempunyai sifat dapat bersenyawa lebih cepat dengan bagian sitoplasma sel sedangkan zat warna basa mudah bereaksi dengan bagianbagian inti sel. Pewarnaan bakteri dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti : fiksasi, peluntur warna, substrat, intensifikasi pewarnaan dan penggunaan zat warna penutup. Pada bakteri gram positif menunjukkan warna biru ungu dan bakteri gram negatif berwarna merah.
Dalam pewarnaan gram diperlukan empat reagen yaitu :
  • Zat warna utama (violet kristal)
  • Mordan (larutan Iodin) yaitu senyawa yang digunakan untuk mengintensifkan warna utama.
  • Pencuci / peluntur zat warna (alcohol / aseton) yaitu solven organic yang digunakan uantuk melunturkan zat warna utama.
  • Zat warna kedua / cat penutup (safranin) digunakan untuk mewarnai kembali sel-sel yang telah kehilangan cat utama setelah perlakuan denga alcohol.
Bakteri Gram-negatif adalah bakteri yang tidak mempertahankan zat warna metil ungu pada metode pewarnaan Gram. Bakteri gram-positif akan mempertahankan zat warna metil ungu gelap setelah dicuci dengan alkohol, sementara bakteri gram-negatif tidak. Pada uji pewarnaan Gram, suatu pewarna penimbal (counterstain) ditambahkan setelah metil ungu, yang membuat semua bakteri gram-negatif menjadi berwarna merah atau merah muda. Pengujian ini berguna untuk mengklasifikasikan kedua tipe bakteri ini berdasarkan perbedaan struktur dinding sel mereka.
Pengecatan gram dilakukan dalam 4 tahap yaitu
1. Pemberian cat warna utama (cairan kristal violet) berwarna ungu.
2. Pengintesifan cat utama dengan penambahan larutan mordan JKJ.
3. Pencucian (dekolarisasi) dengan larutan alkohol asam.
4. Pemberian cat lawan yaitu cat warna safranin
Pada proses pewarnaan gram, harus gelas obyek yang bersih. Pembersihan ini dilakukan supaya gelas obyek bebas lemak dan debu. Pembersihan biasanya  menggunakan alkohol . Setelah di cuci kemudian di beri satu tetes aquades pada permukaan gelas obyek. Kultur bakteri murni diambil dan diratakan diatas kaca obyek. Pengambilan kultur bakteri tidak diambil terlalu banyak, karena jika terlalu banyak akan sulit diratakan dan apabila kultur bakteri tidak dapat diratakan tipis-tipis maka bakteri akan tertimbun hal ini akan mengakibatkan pemeriksaan bentuknya satu per satu menjadi tidak jelas.
Apabila sudah kering, dilakukan fiksasi dengan cara melewatkan diatas nyala api. Proses fiksasi dilakukan supaya bakteri benar-benar melekat pada kaca obyek sehingga olesan bakteri tidak akan terhapus apabila dilakukan pencucian. Yang perlu diperhatikan dalam proses fiksasi adalah bidang yang mengandung bakteri dijaga agar tidak terkena nyala api. Setelah dilakukan fiksasi kemudian ditetesi dengan kristal violet dan dibiarkan. Kemudian dicuci dengan air mengalir dan dibiarkan sampai kering (dengan cara dianginkan). Pencucian dengan air bertujuan untuk mengurangi kelebihan zat warna dari violet kristal. Setelah kelebihan zat warna dicuci dengan air kemudian diberi larutan iodin dan dibiarkan sehingga terbentuk suatu kompleks antara violet kristal dan iodin. Olesan bakteri kemudian dicuci kembali dengan air mengalir. Kemudian dicuci dengan etanol dan dicuci kembali dengan air mengalir.
Pewarnaan selanjutnya dengan menggunakan safranin dan diamkan. Kemudian cuci dengan air mengalir dan kering dianginkan, kemudian diamati dibawah mikroskop.
Pemberian kristal violet pada bakteri gram positif akan meninggalkan warna ungu muda. Perbedaan respon terhadap mekanisme pewarnaan gram pada bakteri adalah didasarkan pada struktur dan komposisi dinding sel bakteri. Bakteri gram positif mengandung protein dan gram negative mengandung lemak dalam persentasi lebih tinggi dan dinding selnya tipis. Pemberian alkohol (etanol) pada praktikum pewarnaan bakteri, menyebabkan terekstraksi lipid sehingga memperbesar permeabilitas dinding sel. Pewarnaan safranin masuk ke dalam sel dan menyebabkan sel menjadi berwarna merah pada bakteri gram negatif sedangkan pada bakteri gram positif dinding selnya terdehidrasi dengan perlakuan alkohol, pori – pori mengkerut, daya rembes dinding sel dan membran menurun sehingga pewarna safranin tidak dapat masuk sehingga sel berwarna ungu.
Perbedaan dasar antara bakteri gram positif dan negatif adalah pada komponen dinding selnya. Kompleks zat iodin terperangkap antara dinding sel  dan membran sitoplasma organisme gram positif, sedangkan penyingkiran zat lipida dari dinding sel organisme gram negatif dengan pencucian alcohol memungkinkan hilang dari sel. Bakteri gram positif memiliki membran tunggal yang dilapisi peptidohlikan yang tebal (25-50nm) sedangkan bakteri negative lapisan peptidoglikogennya tipis (1-3 nm).
Sifat bakteri terhadap pewarnaan Gram merupakan sifat penting untuk membantu determinasi suatu bakteri. Beberapa perbedaan sifat yang dapat dijumpai antara bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif yaitu:
Ciri-ciri bakteri gram negatif yaitu:
-          Struktur dinding selnya tipis, sekitar 10 – 15 mm, berlapis tiga atau multilayer.
-          Dinding selnya mengandung lemak lebih banyak (11-22%), peptidoglikan terdapat didalam
-          lapisan kaku, sebelah dalam dengan jumlah sedikit ± 10% dari berat kering, tidak mengandung asam tekoat.
-          Kurang rentan terhadap senyawa penisilin.
-          Pertumbuhannya tidak begitu dihambat oleh zat warna dasar misalnya kristal violet.
-          Komposisi nutrisi yang dibutuhkan relatif sederhana.
-          Tidak resisten terhadap gangguan fisik.
-          Resistensi terhadap alkali (1% KOH) lebih pekat
-          Peka terhadap streptomisin
-          Toksin yang dibentuk Endotoksin
Ciri-ciri bakteri gram positif yaitu:
-          Struktur dinding selnya tebal, sekitar 15-80 nm, berlapis tunggal atau monolayer.
-          Dinding selnya mengandung lipid yang lebih normal (1-4%), peptidoglikan ada yang sebagai lapisan tunggal. Komponen utama merupakan lebih dari 50% berat ringan. Mengandung asam tekoat.
-          Bersifat lebih rentan terhadap penisilin.
-          Pertumbuhan dihambat secara nyata oleh zat-zat warna seperti ungu kristal.
-          Komposisi nutrisi yang dibutuhkan lebih rumit.
-           Lebih resisten terhadap gangguan fisik.
-          Resistensi terhadap alkali (1% KOH) larut
-          Tidak peka terhadap streptomisin
-          Toksin yang dibentuk Eksotoksin Endotoksin
BAB III. KESIMPULAN
  • Bakteri merupakan sel prokariotik berukuran lebih kecil dari sel eukariotik.
  • Bakteri mempunyai struktur el yang terdiri atas Membran Sel , Dinding Sel, Flagel dan Pili, serta Kapsul dan Lendir
  • Bakteri di Klasifikasi atas dua golongan, yakni bakteri gram-positif dan bakteri gram-negatif.  Terbagi atas:
    • Bakteri berbentuk kokus (bulat)
    • Bakteri berbentuk batang
    • Bakteri berbentuk lengkung
    • Bakteri yang termasuk kelompok khusus
  • Bakteri diidentifikasi dengan metode pengecatan atau pewarnaan sel bekteri yang berfungsi untuk mengetahui sifat fisiologisnya dengan mikroskop, memperjelas ukuran dan bentuk bakteri, untuk melihat struktur luar dan struktur dalam bakteri seperti dinding sel dan vakuola, menghasilkan sifat-sifat fisik dan kimia yang khas daripada bakteri dengan zat warna, serta meningkatkan kontras mikroorganisme dengan sekitarnya.
  • Faktor-faktor yang mempengaruhi pewarnaan bakteri yaitu fiksasi, peluntur warna , substrat, intensifikasi pewarnaan dan penggunaan zat warna penutup.
  • Teknik pewarnaan warna pada bakteri dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu pengecatan sederhana, pengecatan negatif, pengecatan diferensial dan pengecatan struktural.
  • Pewarnaan negative merupakan metode mewarnai latar belakangnya menjadi hitam gelap.
  • Pewarnaan sederhana, merupakan pewarna yang paling umum digunakan, yaitu mewarnai sel-sel bakteri hanya digunakan satu macam zat warna saja.
  • Pewarnaan structural/khusus Untuk mewarnai struktur khusus/tertentu dari bakteri seperti kapsul, spora, flagel dll
  • Pewarnaan diferensial merupakan pewarnaan menggunakan lebih dari satu macam zat warna yang bertujuan untuk membedakan antar bakteri. Contoh: Pewarnaan Gram, Pewarnaan Bakteri Tahan Asam
  • Dengan metode pewarnaan Gram, bakteri dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bakteri Gram positif dan Gram negatif berdasarkan reaksi atau sifat bakteri terhadap cat tersebut.
  • Pewarnaan bakteri dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti : fiksasi, peluntur warna, substrat, intensifikasi pewarnaan dan penggunaan zat warna penutup.
  • Pada bakteri gram positif menunjukkan warna biru ungu dan bakteri gram negatif berwarna merah.
  • Dalam pewarnaan gram diperlukan empat reagen yaitu :
    • Zat warna utama (violet kristal)
    • Mordan (larutan Iodin) yaitu senyawa yang digunakan untuk mengintensifkan warna utama.
    • Pencuci / peluntur zat warna (alcohol / aseton) yaitu solven organic yang digunakan uantuk melunturkan zat warna utama.
    • Zat warna kedua / cat penutup (safranin) digunakan untuk mewarnai kembali sel-sel yang telah kehilangan cat utama setelah perlakuan denga alkohol.

DAFTAR PUSTAKA

Jawetz, Melnick, Adelberg, 2008, Mikrobiologi Kedokteran, edisi 23, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Prescott, Harley, Klein’s, 2008, Microbiology 7th edition, Published by McGraw-Hill, Boston.
Bailey and Scott’s, 2007, Diagnostic Microbiology 12th edition, Mosby Elsevier, Houston.
Entjang I, 2003, Mikrobiologi dan Parasitologi Untuk Akademi Keperawatan, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta.
Iud W, 2008, Teknik dan Metode Dasar Dalam Mikrobiologi, UMM Pres, Malang.

Faktor Yang Perlu Dipertimbangkan Dalam Penggunaan Antibiotika



Antibiotik berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari Anti (lawan),Bios (hidup). Antibiotik adalah Suatu zat kimia atau senyawa obat yang alami maupun sintetik, yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang berupa bakteri ataupun jamur yang berkhasiat sebagai obat apabila digunakan dalam dosis tertentu dan berkhasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman ataupun mikroorganisme lainnya (yang bersifat parasit), dan toksisitasnya tidak berbahaya bagi manusisa. Obat antibiotik yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia, ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes. Antibiotik hanya untuk bakteri dan tidak digunakan untuk virus.

Faktor Yang Perlu Dipertimbangkan Dalam Penggunaan Antibiotika

Harus mempertimbangkan faktor-faktor :
• Gambaran klinis adanya infeksi yang diderita
• Faktor sensitivitas bakteri terhadap antibiotik
• Fungsi ginjal dan hati pasien
• Biaya pengobatan
Antibiotika Kombinasi diberikan apabila pasien :
• Pengobatan infeksi campuran
• Pengobatan pada infeksi berat yang belum jelas penyebabnya
• Efek sinergis
• Memperlambat resistensi

Penggolongan Obat Antimikroba (Antibiotik)

1) Golongan Antibiotik Berdasarkan daya bunuh atau daya kerjanya dalam zat bakterisid dan zat bakteriostatis dikelompokkan menjadi :

a) Bakterisid :
Antibiotika yang bakterisid secara aktif membasmi kuman. Termasuk dalam golongan ini adalah penisilin, sefalosporin, aminoglikosida (dosis besar), kotrimoksazol , polipeptida, rifampisin, isoniazid dll.
b) Bakteriostatik :
Antibiotika bakteriostatik bekerja dengan mencegah atau menghambat pertumbuhan kuman, TIDAK MEMBUNUHNYA, sehingga pembasmian kuman sangat tergantung pada daya tahan tubuh. Termasuk dalam golongan ini adalah sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, trimetropim, linkomisin, makrolida, klindamisin, asam paraaminosalisilat, dll.
Manfaat dari pembagian ini dalam pemilihan antibiotika mungkin hanya terbatas, yakni pada kasus pembawa kuman (carrier), pada pasien-pasien dengan kondisi yang sangat lemah (debilitated) atau pada kasus-kasus dengan depresi imunologik tidak boleh memakai antibiotika bakteriostatik, tetapi harus bakterisid.

2) Penggolongan Berdasarkan spektrum kerja antibiotik yaitu luas aktivitas, artinya aktif terhadap banyak atau sedikit jenis mikroba. Dapat dibedakan antibiotik dengan aktivitas sempit dan luas

a) spektrum luas (aktivitas luas) : antibiotik yang bersifat aktif bekerja terhadap banyak jenis mikroba yaitu bakteri gram positif dan gram negative. Contoh antibiotik dalam kelompok ini adalah sulfonamid, ampisilin, sefalosforin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan rifampisin.
b) spektrum sempit (aktivitas sempit) : antibiotik yang bersifat aktif bekerja hanya terhadap beberapa jenis mikroba saja, bakteri gram positif atau gram negative saja. Contohnya eritromisin, klindamisin, kanamisin, hanya bekerja terhadap mikroba gram-positif. Sedang streptomisin, gentamisin, hanya bekerja terhadap kuman gram-negatif.

3) Penggolongan Berdasarkan cara kerjanya

Antibiotika golongan ini dibedakan berdasarkan sasaran kerja senyawa tersebut dan susunan kimiawinya. Ada enam kelompok antibiotika dilihat dari target atau sasaran kerjanya
a) Inhibitor sintesis atau mengaktivasi enzim yang merusak dinding sel bakteri sehingga menghilangkan kemampuan berkembang biak dan sering kali terjadi lisis, mencakup golongan Penicsillin, Polipeptida, sikloserin, basitrasin, vankomisin dan Sefalosporin, misalnya ampisillin, penisillin G;
b) Inhibitor transkripsi dan replikasi, mencakup golongan Quinolone, misalnya rifampicin, actinomycin D, nalidixic acid;
c) Inhibitor sintesis protein, yang mengganggu fungsi ribosom bakteri, menyebabkan inhibisi sintesis protein secara reversibel, mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari golongan Macrolide, Aminoglycoside, dan Tetracycline, misalnya gentamycin, chloramphenicol, kanamycin, streptomycin, oxytetracycline.
d) Inhibitor fungsi membran sel, mempengaruhi permeabilitas sehingga menimbulkan kehilangan senyawa intraselular. misalnya ionomycin, valinomycin dan polimiksin
e) Inhibitor fungsi sel lainnya, misalnya difiksasi pada subunit ribosom 30 S menyebabkan timbunan kompleks pemula sintesis protein, salah membaca kode mRNA, produksi polipeptida abnormal. Contoh aminoglikosida, golongan sulfa atau sulfonamida, misalnya oligomycin, tunicamycin; dan
f) Antimetabolit yang mengganggu metabolisme asam nukleat. Contoh rifampin (inhibisi RNA polimerase yang dependen DNA),azaserine.
Pembagian ini walaupun secara rinci menunjukkan tempat kerja dan mekanismenya terhadap kuman, namun kiranya kurang memberikan manfaat atau membantu praktisi dalam memutuskan pemilihan obat dalam klinik. Masing-masing cara klasifikasi mempunyai kekurangan maupun kelebihan, tergantung kepentingannya.

4) Penggolongan Berdasarkan penyakitnya.

a) Golongan Penisilin
Dihasilkan oleh fungi Penicillinum chrysognum. Memiliki cincin b-laktam yang diinaktifkan oleh enzim b-laktamase bakteri. Aktif terutama pada bakteri gram (+) dan beberapa gram (-). Obat golongan ini digunakan untuk mengobati infeksi pada saluran napas bagian atas (hidung dan tenggorokan) seperti sakit tenggorokan, untuk infeksi telinga, bronchitis kronik, pneumonia, saluran kemih (kandung kemih dan ginjal). Adapun contoh obat yang termasuk dalam golongan ini antara lain : Ampisilin dan Amoksisilin. Untuk meningkatkan ketahanan thp b-laktamase : penambahan senyawa untuk memblokir & menginaktivasi b-laktamase. Misalnya Amoksisilin + asam klavulanat, Ampisilin + sulbaktam, Piperasilin + tazobaktam.
Efek samping : reaksi alergi, syok anafilaksis, kematian,Gangguan lambung & usus. Pada dosis amat tinggi dapat menimbulkan reaksi nefrotoksik dan neurotoksik. Aman bagi wanita hamil & menyusui
b) Golongan Sefalosporin
Dihasilkan oleh jamur Cephalosporium acremonium. Spektrum kerjanya luas meliputi bakteri gram positif dan negatifObat golongan ini barkaitan dengan penisilin dan digunakan untuk mengobati infeksi saluran pencernaan bagian atas (hidung dan tenggorokan) seperti sakit tenggorokan, pneumonia, infeksi telinga, kulit dan jaringan lunak, tulang, dan saluran kemih (kandung kemih dan ginjal). Adapun contoh obat yang termasuk dalam golongan ini antara lain : Sefradin, Sefaklor, Sefadroksil, Sefaleksin, E.coli, Klebsiella dan Proteus. Penggolongan sefalosporin berdasarkan aktivitas & resistensinya terhadap b-laktamase.
Generasi I : aktif pada bakteri gram positif. Pada umumnya tidak tahan pada b laktamase. Misalnya sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, sefadroksil. Digunakan secara oral pada infeksi saluran kemih ringan, infeksi saluran pernafasan yang tidak serius
Generasi II : lebih aktif terhadap kuman gram negatif. Lebih kuat terhadap blaktamase. Misalnya sefaklor, sefamandol, sefmetazol,sefuroksim
Generasi III : lebih aktif terhadap bakteri gram negatif , meliputi Pseudomonas aeruginosa dan bacteroides. Misalnya sefoperazone, sefotaksim, seftizoksim, sefotiam, sefiksim.Digunakan secara parenteral,pilihan pertama untuk sifilis
Generasi IV : Sangat resisten terhadap laktamase. Misalnya sefpirome dan sefepim
c) Golongan Lincosamides
Dihasilkan oleh Streptomyces lincolnensis dan bersifat bakteriostatis. Obat golongan ini dicadangkan untuk mengobati infeksi berbahaya pada pasien yang alergi terhadap penisilin atau pada kasus yang tidak sesuai diobati dengan penisilin. Spektrum kerjanya lebih sempit dari makrolida, terutama terhadap gram positif dan anaerob. Penggunaannya aktif terhadap Propionibacter acnes sehingga digunakan secara topikal pada acne. Adapun contoh obatnya yaitu Clindamycin (klindamisin) dan Linkomycin (linkomisin).
d) Golongan Tetracycline
Diperoleh dari Streptomyces aureofaciens & Streptomyces rimosus. Obat golongan ini digunakan untuk mengobati infeksi jenis yang sama seperti yang diobati penisilin dan juga untuk infeksi lainnya seperti kolera, demam berbintik Rocky Mountain, syanker, konjungtivitis mata, dan amubiasis intestinal. Dokter ahli kulit menggunakannya pula untuk mengobati beberapa jenis jerawat. Adapun contoh obatnya yaitu : Tetrasiklin, Klortetrasiklin, Oksitetrasiklin, doksisiklin dan minosiklin.
Khasiatnya bersifat bakteriostatik , pada pemberian iv dapat dicapai kadar plasma yang bersifat bakterisid lemah.Mekanisme kerjanya mengganggu sintesis protein kuman Spektrum kerjanya luas kecuali thp Psudomonas & Proteus. Juga aktif terhadap Chlamydia trachomatis (penyebab penyakit mata), leptospirae, beberapa protozoa. Penggunaannya yaitu infeksi saluran nafas, paru-paru, saluran kemih, kulit dan mata. Namun dibatasi karena resistensinya dan efek sampingnya selama kehamilan & pada anak kecil.
e) Golongan Kloramfenikol
Bersifat bakteriostatik terhadap Enterobacter & S. aureus berdasarkan perintangan sintesis polipeptida kuman. Bersifat bakterisid terhadap S. pneumoniae, N. meningitidis & H. influenza. Obat golongan ini digunakan untuk mengobati infeksi yang berbahaya yang tidak efektif bila diobati dengan antibiotic yang kurang efektif. Penggunaannya secara oral, sejak thn 1970-an dilarang di negara barat karena menyebabkan anemia aplastis. Sehingga hanya dianjurkan pada infeksi tifus (salmonella typhi) dan meningitis (khusus akibat H. influenzae). Juga digunakan sebagai salep 3% tetes/salep mata 0,25-1%. Contoh obatnya adalah Kloramfenikol, Turunannya yaitu tiamfenikol.
f) Golongan Makrolida
Meliputi eritromisin, klaritromisin, roxitromisin, azitromisin, diritromisin serta spiramisin. Bersifat bakteriostatik. Mekanisme kerjanya yaitu pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga mengganggu sintesis protein. Penggunaannya merupakan pilihan pertama pada infeksi paru-paru. Digunakan untuk mengobati infeksi saluran nafas bagian atas seperti infeksi tenggorokan dan infeksi telinga, infeksi saluran nafas bagian bawah seperti pneumonia, untuk infeksi kulit dan jaringan lunak, untuk sifilis, dan efektif untuk penyakit legionnaire (penyakit yang ditularkan oleh serdadu sewaan). Sering pula digunakan untuk pasien yang alergi terhadap penisilin.
g) Golongan Kuinolon
Berkhasiat bakterisid pada fase pertumbuhan kuman, dgn menghambat enzim DNA gyrase bakteri sehingga menghambat sintesa DNA. Digunakan untuk mengobati sinusitis akut, infeksi saluran pernafasan bagian bawah serta pneumonia nosokomial, infeksi kulit dan jaringan kulit, infeksi tulang sendi, infeksi saluran kencing, Cystitis uncomplicated akut, prostates bacterial kronik, infeksi intra abdominal complicated, demam tifoid, penyakit menular seksual, serta efektif untuk mengobati Anthrax inhalational.
Penggolongan :
Generasi I : asam nalidiksat dan pipemidat digunakan pada ISK tanpa komplikasi
Generasi II : senyawa fluorkuinolon misal siprofloksasin, norfloksasin, pefloksasin,ofloksasin. Spektrum kerja lebih luas, dan dapat digunakan untuk infeksi sistemik lain.
Zat-zat long acting : misal sparfloksasin, trovafloksasin dan grepafloksasin.Spektrum kerja sangat luas dan meliputi gram positif.
h) Aminoglikosida
Dihasilkan oleh fungi Streptomyces & micromonospora.Mekanisme kerjanya : bakterisid, berpenetrasi pada dinding bakteri dan mengikatkan diri pada ribosom dalam sel Contoh : streptomisin, kanamisin, gentamisin, amikasin, neomisin
Penggunaan Aminoglikosida Streptomisin & kanamisin Þ injeksi pada TBC juga pada endocarditis,Gentamisin, amikasin bersama dengan penisilin pada infeksi dengan Pseudomonas,Gentamisin, tobramisin, neomisin juga sering diberikan secara topikal sebagai salep atau tetes mata/telinga,Efek samping : kerusakan pada organ pendengar dan keseimbangan serta nefrotoksik.
i) Monobaktam
Dihasilkan oleh Chromobacterium violaceum Bersifat bakterisid, dengan mekanisme yang sama dengan gol. b-laktam lainnya.Bekerja khusus pada kuman gram negatif aerob misal Pseudomonas, H.influenza yang resisten terhadap penisilinase Contoh : aztreonam
j) Sulfonamide
Merupakan antibiotika spektrum luas terhadap bakteri gram positrif dan negatif. Bersifat bakteriostatik. Mekanisme kerja : mencegah sintesis asam folat dalam bakteri yang dibutuhkan oleh bakteri untuk membentuk DNA dan RNA bakteri. Kombinasi sulfonamida : trisulfa (sulfadiazin, sulfamerazin dan sulfamezatin dengan perbandingan sama),Kotrimoksazol (sulfametoksazol + trimetoprim dengan perbandingan 5:1),Sulfadoksin + pirimetamin.
Penggunaan:
Infeksi saluran kemih : kotrimoksazol
Infeksi mata : sulfasetamid
Radang usus : sulfasalazin
Malaria tropikana : fansidar.
Mencegah infeksi pada luka bakar : silver sulfadiazine.
Tifus : kotrimoksazo.
Radang paru-paru pada pasien AIDS : kotrimoxazol
Sebaiknya tidak digunakan pada kehamilan teruama trimeseter akhir : icterus, hiperbilirubinemia
k) Vankomisin
Dihasikan oleh Streptomyces orientalis.Bersifat bakterisid thp kuman gram positif aerob dan anaerob.Merupakan antibiotik terakhir jika obat-obat lain tidak ampuh lagi
l) Golongan Antibiotika Kombinasi
Kegunaannya dapat dikelompokkan berdasarkan jalur pemberiannya, antara lain :
i) Penggunaan Oral dan Parenteral : infeksi saluran kemih, Shigellosis enteritis, treatment pneumocystis carinii pneumonia pada anak dan dewasa.
ii) Penggunaan Oral : Profilaksis pneumocystis carinii pneumonia pada individu yang mengalami imunosupresi, otitis media akut pada anak-anak, eksaserbasi akut pada bronchitis kronik pasien dewasa.
Secara klasik selalu dianjurkan bahwa kombinasi antibiotik bakterisid dan bakteriostatik akan merugikan oleh karena antibiotik bakterisid bekerja pada kuman yang sedang tumbuh, sehingga kombinasi dengan jenis bakteriostatik akan memperlemah efek bakterisidnya. Tetapi konsep ini mungkin tidak bisa begitu saja diterapkan secara luas dalam klinik, oleh karena beberapa kombinasi yang dianjurkan dalam klinik misalnya penisilin (bakterisid) dan kloramfenikol (bakteriostatik) justru merupakan alternatif pengobatan pilihan untuk meningitis bakterial yang umumnya disebabkan oleh kuman Neisseria meningitides. Pada umumnya, penggunaan kombinasi dari dua atau lebih antibiotik tidak dianjurkan, apalagi kombinasi dengan dosis tepat. Untuk suatu mikroba penginfeksi, kombinasi antibiotik dapat bersifat sinergik (kombinasi dua antibiotik yang bersifat bakterisid), additif (kombinasi dua antibiotik yang bersifat bakteriostatik) dan antagonis (kombinasi antibiotik bakteriostatik dan bakterisid). Pemakaian kombinasi antibiotika mengandung risiko misalnya adanya akumulasi toksisitas yang serupa, misalnya nefrotoksisitas aminoglikosida dan nefrotoksisitas dari beberapa jenis sefalosporin. Kemungkinan juga dapat terjadi antagonisme, kalau prinsip-prinsip kombinasi di atas tidak ditaati, misalnya kombinasi penisilin dan tetrasiklin. Walaupun pemakaian beberapa kombinasi dapat diterima secara ilmiah, tetap diragukan perlunya kombinasi tetap oleh karena kemungkinan negatif yang dapat terjadi. Sebagai contoh kombinasi tetap penisilin dan streptomisin justru akan meyebabkan inaktivasi dari masing-masing antibiotika oleh karena terjadinya kerusakan secara kimiawi.
Penggunaan kombinasi antibiotik yang tepat harus dapat mencapai sasaran sebagai berikut:
1. Kombinasi bekerja sinergik terhadap mikroba penyebab infeksi
2. Kombinasi mencegah terjadi resistensi mikroba
3. Kombinasi sebagai tindak awal penanganan infeksi, bertujuan mencapai spektrum kerja luas pada infeksi yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
4. Kombinasi antibiotik digunakan untuk menangani beberapa infeksi sekaligus.

Resistensi Antibiotik

Bakteri dikatakan resisten bila pertumbuhannya tidak dapat dihambat oleh kadar maksimum antibiotik yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Resistensi adalah ketahanan mikroba terhadap antibiotik tertentu. Resistensi alamiah adalah jika beberapa mikroba tidak peka terhadap antibiotik tertentu karena sifat mikroba secara alamiah tidak dapat diganggu oleh antibiotik tersebut. Resistensi kromosomal terjadi karena mutasi spontan pada gen kromosom. Resistensi kromosomal dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan primer, mutasi terjadi sebelum pengobatan dengan antibiotik dan selama pengobatan terjadi seleksi bibit yang resisten. Dan golongan sekunder, mutasi terjadi selama kontak dengan antibiotik kemudian terjadi seleksi bibit yang resistensi. Resistensi silang dapat terjadi dengan cara transformasi yaitu pelepasan DNA dari sel donor yang mengalami lisis pindah ke sel penerima, cara transduksi yaitu pemindahan gen yang resisten dengan bantuan bakteriofag dan cara konjugasi yaitu pemindahan gen karena adanya kontak sel dengan sel dan terbentuk jembatan plasma. Resistensi ekstra kromosomal, yang berperan adalah faktor R yang terdapat diluar kromosom yaitu didalam sitoplasma. Faktor R ini diketahui membawakan resistensi bakteri terhadap berbagai antibiotik.

Penggunaan Antibiotik

Secara umum, berdasarkan ditemukannya kuman penyebab infeksi atau tidak, maka terapi antibiotika dapat dibagi menjadi dua, yakni terapi secara empiris dan terapi pasti.
1. Terapi secara empiris:
Pada banyak keadaan infeksi, kuman penyebab infeksi belum dapat diketahui atau dipastikan pada saat terapi antibiotika dimulai. Dalam hal ini pemilihan jenis antibiotika diberikan berdasarkan perkiraan kemungkinan kuman penyebabnya. Ini dapat didasarkan pada pengalaman yang layak (pengalaman klinis) atau berdasarkan pada pola epidemiologi kuman setempat.
Pertimbangan utama dari terapi empiris ini adalah pengobatan infeksi sedini mungkin akan memperkecil resiko komplikasi atau perkembangan lebih lanjut dari infeksinya, misalnya dalam menghadapi kasus-kasus infeksi berat, infeksi pada pasien dengan kondisi depresi imunologik.
Keberatan dari terapi empirik ini meliputi, kalau pasien sebenarnya tidak menderita infeksi atau kalau kepastian kuman penyebab tidak dapat diperoleh kemudian karena sebab-sebab tertentu (misalnya tidak diperoleh spesimen), maka terapi antibiotika seolah-olah dilakukan secara buta.
2. Terapi pasti (definitif):
Terapi ini dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis yang sudah pasti, jenis kuman maupun spektrum kepekaannya terhadap antibiotika.
Dalam praktek sehari-hari, mulainya terapi antibiotika umumnya dilakukan secara empiris. Baru kalau hasil pemeriksaan mikrobiologis menunjukkan ketidakcocokan dalam pemilihan antibiotika, maka antibiotika dapat diganti kemudian dengan jenis yang sesuai.

Efek Samping Antibiotik

Toksisitas selektif terhadap bakteri yang menginvasi tidak menjamin hospes bebas dari efek yang tidak diinginkan, karena obat dapat menimbulkan respon alergik atau bersifat toksik yang tidak berkaitan dengan aktivitas antibiotik:
1. Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi apabila jumlah antigen masuk relatif banyak atau bila status imunologik seseorang, baik humoral maupun selular meningkat.
2. Toksisitas langsung
Toksisitas langsung yaitu kadar antibiotika yang tinggi dalam serum dapat menimbulkan toksisitas pada proses selular melalui organ tubuh penderita langsung.
3. Superinfeksi
Superinfeksi merupakan keberadaan data klinis maupun bakteriologi pengaruh penghambatan pertumbuhan dari flora normal.