Cari Blog Ini

Sabtu, 30 April 2011

sel makhluk hidup seperti bakteri

Para ilmuwan rekayasa genetika gemar melakukan eksperimen dengan ‘menggunting’, ‘menyambung’ dan ‘menempelkan’ fragmen-fragmen DNA, kemudian memasukkannya ke dalam sel makhluk hidup seperti bakteri, fungi, tanaman dan juga hewan untuk dilihat bagaimana efek dari DNA yang dimasukkannya itu. Lantas bagaimana caranya agar suatu fragmen DNA dapat dimasukkan ke dalam sel makhluk hidup dan dapat berfungsi layaknya DNA milik sel itu sendiri?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita kilas balik sejenak ke tahun 1928 ketika Frederick Griffith sedang mencari vaksin untuk melawan bakteri penyebab pneumonia yaitu Streptococcus pneumoniae. Saat itu ia dibuat heran ketika strain bakteri S. pneumoniae yang tidak virulen dapat berubah menjadi virulen setelah kontak dengan strain yang virulen yang sudah mati. Kok bisa? apa yang menyebabkan perubahan itu? Pertanyaan ini baru menemukan titik terang ketika tahun 1944, Oswald Avery, Coling MacLeod & Maclyn McCarty mengisolasi DNA genom bakteri dari strain yang virulen dan mentransformasinya ke strain bakteri non virulen, hasilnya dapat ditebak, bakteri non virulen tadi berubah menjadi virulen.
S. pneumoniae virulent experiment (image from nature.com)
S. pneumoniae virulent experiment (image from nature.com)
Transformasi, begitulah ketiganya menyebut proses penyerapan dan penyatuan DNA oleh bakteri. Meskipun awalnya ditanggapi dengan skeptis, namun akhirnya teknik ini mulai diterima luas di kalangan ilmuwan terutama setelah ditemukan teknik lainnya yaitu konjugasi (1947) dan transduksi (1953) oleh Joshua Lederberg.

Transformasi

Transformasi adalah ekspresi materi genetik asing yang masuk melalui dinding sel. Pada dasarnya dinding sel berfungsi melindungi sel dari masuknya benda-benda asing termasuk DNA, tapi dalam kondisi tertentu, dinding sel ini bisa memiliki semacam celah atau lubang yang bisa dimasuki DNA. Sebetulnya ada lebih dari 1% spesies bakteri mampu melakukan transformasi secara alami. Dimana mereka memproduksi protein-protein tertentu yang dapat membawa DNA menyeberangi dinding sel. Sedangkan di laboratorium, kita dapat membuat suatu bakteri menjadi kompeten (istilah untuk bakteri yang siap bertransformasi), misalnya dengan mendinginkannya pada larutan yang mengandung kation divalen seperti Ca2+ untuk membuat dinding sel menjadi permeable dan dapat dilalui oleh DNA plasmid. Dengan melakukan teknik ‘heat-shock‘ — mendinginkan, memanaskan dan mendinginkan kembali– bakteri, maka DNA dapat masuk ke dalam sel. Teknik ini ditemukan oleh trio peneliti Stanley Cohen, Annie Chang, Leslie Hsu pada tahun 1972.
Chemical Transformation (image from biochem.arizona.edu)
Chemical Transformation (image from biochem.arizona.edu)
Selain teknik ‘heat-shock’, sejak tahun 1980 telah digunakan teknik ‘elektroforasi’ yaitu dengan mengejutkan sel bakteri dengan medan listrik berkekuatan tinggi (10-20 kV/cm). Saking terkejutnya, akan terbentuk lubang-lubang pada dinding sel yang bisa diterobos DNA plasmid berukuran besar dan kemudian lubang tersebut akan tertutup dengan sendirinya.
Electrophoretic Transformation (image from biochem.arizona.edu)
Electrophoretic Transformation (image from biochem.arizona.edu)
Transformasi alami biasanya melibatkan DNA rantai lurus (linear) sedangkan transformasi artifisial melibatkan DNA rantai melingkar (plasmid)

Cara Gen Ditransformasi

Umumnya transformasi bertujuan mengekspresikan suatu gen tertentu di dalam sel inang. Agar gen yang berupa fragmen DNA (biasa disebut insert) ini dapat masuk, ia harus dibuat menjadi DNA plasmid dulu dengan menyisipkannya pada suatu DNA vektor. Berikut ini tahapan-tahapan insersi gen ke plasmid/vektor. Anda juga dapat melihat teknik ini selengkapnya di sini.
Ligation-1_biochem-arizona-edu.gif
Insert Digestion (image from biochem.arizona.edu)
Ligation-2_biochem-arizona-edu.gif
Plasmid (Vector) Digestion (image from biochem.arizona.edu)
Ligation-3a_biochem-arizona-edu.gif
Insert-Plasmid Ligation (image from biochem.arizona.edu)

Bagaimana Memastikan Transformasi Berhasil?

Kita tahu bahwa setiap sel termasuk bakteri memiliki sistem pertahanan diri terhadap benda asing termasuk DNA. Jika sel bakteri menemukan adanya DNA asing, maka enzim restriksi sebagai penjaga benteng akan memotong-motong DNA tersebut hingga menjadi pendek dan tak berfungsi lagi. Agar DNA plasmid yang ditransformasi tidak dicincang oleh enzim restriksi, maka ia harus memiliki bagian yang dinamakan ori atau origin of replication yang dikenali oleh bakteri yang bersangkutan. Ori ini berfungsi ‘mengelabui’ bakteri agar tidak menganggapnya sebagai DNA asing. Ori juga merupakan signal agar bakteri tersebut melakukan replikasi alias penggandaan DNA plasmid secara independen seiring dengan replikasi DNA genomnya. Lalu bagaimana membedakan antara bakteri yang sudah dimasuki DNA plasmid dan mana yang tidak? Cara yang paling umum adalah dengan seleksi antibiotik. Kita tahu umumnya bakteri tidak dapat hidup pada media yang mengandung antibiotik. Untuk itu pada DNA plasmid yang kita transformasikan harus ada gen penyandi antibiotik resisten agar bakteri hostnya menjadi tahan hidup di media yang mengandung antibiotik. Jadi bakteri yang tidak berhasil disusupi oleh plasmid akan mati dengan sendirinya. Lalu bagaimana membedakan antara bakteri yang plasmidnya memiliki insert atau tidak? Karena yang namanya reaksi ligasi tidak akan 100% berhasil menyambungkan vektor dan insert. Bisa saja terjadi vektor berligasi sendiri (vector self-ligation), atau justru insert yang berligasi sendiri (insert self-ligation). Insert biasanya disisipkan di pertengahan gen lacZ yang merupakan penyandi lacZ-å subunit dari enzim ß-galactosidase, subunit lainnya, yaitu lacZ-w subunit dihasilkan oleh gen yang terdapat pada kromosom bakteri host-nya. Enzim ini dapat memecah substrat seperti X-gal (suatu galaktosa yang dimodifikasi) menjadi galaktosa dan pre-chromophore 5-bromo-4-chloro-3-hydroxyindole, yang selanjutnya dioksidasi menjadi 5,5′-dibromo-4,4′-dichloro-indigo yang berwarna biru.
AMG23_biochem-arizona-edu.gif
Mechanism of X-gal degradation by ß-galactosidase (image from biochem.arizona.edu)
Nah, jika gen LacZ ini masih utuh, maka koloni bakteri akan berwarna biru akibat pengaruh zat warna indigo yang dihasilkan. Tetapi jika insert berhasil disisipkan (diligasikan) dengan vektor, otomatis gen lacZ-nya akan terdisrupsi alias rusak dan ujung-ujungnya tidak mampu menghasilkan indigo yang berwarna biru, sehingga koloni bakteri akan berwarna putih. Jadi hanya koloni putih yang tumbuh pada media yang mengandung antibiotik dan X-Gal sajalah yang kemungkinan mengandung gen yang kita transformasikan. Inilah yang dinamakan seleksi biru-putih.
Ligation-3New_biochem-arizona-edu.gif
Insert-Plasmid Ligation (image from biochem.arizona.edu)
Selain pada bakteri, transformasi juga bisa dilakukan pada sel tanaman dan hewan.

Teknik Lainnya

horizontaltransfer_biogetopics_wordpress_com.gif
Genetic Horizontal Transfer (image from biogetopics.wordpress.com)

Konjugasi

Konjugasi melibatkan kontak langsung antara dua bakteri berbeda sehingga terjadi transfer materi genetik dari satu bakteri ke bakteri lainnya. Boleh dibilang ini semacam perkawinan seksual pada bakteri.

Transduksi

Jika pada transformasi materi genetik (DNA) langsung memasuki sel bakteri kompeten, maka pada transduksi materi genetik diinjeksikan oleh bakteriofage (virus) ke dalam sel host-nya.

Transfeksi

Transfeksi merupakan jenis transformasi yang terjadi pada sel eukaryot.

mikroorganisme cerdas

Berbagai perilaku mikroorganisme ternyata mencerminkan ‘kecerdasan’ yang mereka miliki.
Pernahkan membayangkan berapa jumlah makhluk bersel tunggal yang hidup di muka bumi ini? Buanyak banget pastinya, manusia saja jumlahnya bisa mencapai 2 miliar jiwa lebih. Kebanyakan mikroba masih menjadi misteri, tidak pernah atau amat sangat jarang kita perhatikan, bahkan diberi nama pun tidak. Namun banyak pula yang sudah kita kenal dan ternyata memiliki kemampuan yang sangat mengagumkan, sangat cerdas, tidak kalah dari makhluk lain yang multisel.
Dari sisi fisik, beberapa mikroorganisme memiliki kekuatan yang mengagumkan, ada yang bisa berhibernasi selama ratusan ribu tahun , ada yang bisa ‘happy’ hidup dalam lingkungan yang sangat ekstrim dimana makhluk hidup lain bisa hancur dalam sekejap.
Beberapa bakteri dan protist (sejenis mikroorganisme eukaryotik) juga menunjukkan tingkah laku yang bisa dibilang cerdas, namun tentu saja kecerdasan ini bukan karena mereka punya otak, makhluk bersel tunggal tentu tidak akan memiliki sistem syaraf, apalagi otak. Para ilmuwan menjelaskan bahwa mereka merupakan “komputer biologis” dengan mesin internal yang dapat memproses informasi. Seperti apa saja sih kecerdasan mikroorganisme tersebut?

Berkomunikasi

Siapa bilang mikroorganisme tak bisa bicara? Bakteri mampu berkomunikasi dengan sesamanya melalui bahasa mereka yaitu sejenis bahan kimia tertentu. Mereka berkomunikasi untuk alasan-alasan tertentu yang kadang sulit dimengerti kecuali kalau kita adalah bakteri sebangsa mereka juga atau seorang bekteriologis sejati. Contoh paling gamblang bisa kita temukan pada bakteri bernama Bacillus subtilis.
Ketika individu-individu B. subtilis tumbuh pada suatu tempat yang miskin makanan, mereka akan melepaskan bahan kimia tertentu ke lingkungan sekitarnya. Seolah-olah mereka berkata kepada tetangganya: “Wooi… Makanan di sini cuma sedikit, jadi kita atasi bersama atau kita semua akan kelaparan.”
Pesan kimiawi ini kemudian akan direspon oleh bakteri lain dengan mengubah bentuk koloni mereka.

Mengambil Keputusan

Beberapa organisme bersel tunggal dapat menentukan berapa jumlah bakteri lain yang masih satu spesies yang ada di sekitar mereka, kemampuan ini dikenal dengan nama “quorum sensing“.
Pada prinsipnya, setiap individu bakteri melepaskan sejumlah kecil senyawa kimia tertentu ke lingkungannya, senyawa ini dapat dideteksi oleh reseptor yang ada pada dinding luar mereka. Nah, jika jumlah bakteri yang berada di situ banyak, dan masing-masing melepaskan senyawa kimia yang sama, tentu akan ketahuan dong apakah jumlah mereka sedikit atau banyak. Dan ketika jumlah senyawa kimia tadi mencapai jumlah tertentu, maka ini dapat memicu terjadinya perubahan perilaku bakteri tersebut.
Pada bakteri patogen (yang dapat menyebabkan penyakit), quorum sensing sering digunakan untuk memutuskan kapan mereka akan menyerang inang (host) mereka. Saat jumlahnya masih sedikit, mereka tidak berani menyerang, namun setelah mereka merasa cukup memiliki amunisi, maka serangan pun dimulai, senjata yang bisa melemahkan sistem imun pun diluncurkan sehingga menimbulkan penyakit bagi sang inang. Strategi yang sangat cerdas untuk organisme sekelas bakteri.
Perusakan signal quorum sensing merupakan salah satu cara untuk mencegah bakteri patogen agar tidak menyerang.


Hidup Bermasyarakat

Selain bisa berbicara dan bekerja sama, bakteri pun bisa membentuk masyarakat dalam bentuk biofilm. Coba periksa bagian dalam pipa air, biasanya terdapat lapisan tipis seperti lumpur, itu adalah biofilm. Tempat lain yang sering ditemukan biofilm yaitu pada tempat perlindungan biologis, seperti pada lapisan dalam sistem pencernaan manusia. Dengan kata lain mereka ditemukan pada tempat yang banyak airnya.
Beberapa spesies yang berbeda bisa hidup berdampingan dalam “kota bakteri”, mereka saling memakan kotoran spesies lain, bekerja sama mengeksploitasi sumber makanan, dan bahkan saling melindungi dari serangan luar semacam antibiotik.

Mempercepat Mutasi

Beberapa mikroorganisme bisa mempercepat mutasi genetiknya sendiri. Hal ini biasanya dilakukan ketika mikroorganisme tersebut dihadapkan pada kondisi lingkungan yang semakin tidak bersahabat. Sebetulnya pilihan ini amat berisiko, jika tidak bermutasi sudah barang tentu mereka tidak akan bertahan hidup, jika bermutasi pun belum tentu berhasil. Bisa jadi mutasi tersebut malah membahayakan mereka sendiri. Jadi strategi mutasi ini merupakan jalan terakhir ketika tak ada pilihan lain.
Contoh mikroorganisme berikut ini sudah diteliti dan mampu melakukan strategi mempercepat mutasi: Escherichia coli bermutasi lebih cepat jika berada dalam kondisi stress (Science, DOI: 10.1126/science.1082240), dan yeast juga terbukti melakukan trik yang sama (Critical Reviews in Biochemistry and Molecular Biology, DOI: 10.1080/10409230701507773).

Navigasi

Kita tahu binatang-binatang tingkat tinggi memiliki kemampuan navigasi yang sangat baik, misalnya burung-burung atau ikan yang bermigrasi dari satu belahan bumi ke belahan bumi lain dan kembali dengan selamat. Nah, mikroorganisme pun ternyata memiliki kemampuan navigasi yang baik.
Sejenis alga bersel tunggal yang bernama Chlamydomona mampu berenang menuju cahaya, tapi hanya menuju cahaya yang memiliki panjang gelombang yang sesuai untuk fotosintesis mereka.
Beberapa bakteri pun seperti itu, mereka bisa bergerak sesuai dengan keberadaan bahan kimia dalam lingkungan mereka –perilaku ini dinamakan chemotaxis. Lagi-lagi contohnya E. coli, ia mampu bergerak seperti hiu mengejar bau darah jika mendeteksi adanya sedikit makanan yang masuk ke lingkungan mereka.
Bahkan, ada beberapa kelompok bakteri yang bisa mensejajarkan diri mereka dengan arah medan magnet bumi, sehingga mereka menghadap utara atau selatan (Science, DOI: 10.1126/science.170679). Bakteri semacam ini dinamakan magnetotactic bacteria, mereka mempunyai organel khusus yang mengandung kristal-kristal magnetik.
Namun yang paling keren adalah jamur lumpur Physarum polycephalum , koloni organisme ini selalu bisa menemukan rute tersingkat di antara alternatif jalan yang berliku-liku.

Belajar dan Mengingat

Saat amuba Dictyostelium mencari permukaan cawan Petri untuk mencari makan, maka ia melakukan banyak gerakan berbelok, namun gerakan ini tidak bersifat acak.
Jika ia baru saja belok kanan, maka gerakan berikutnya kemungkinan besar adalah belok kiri, dan sebaliknya. Dengan kata lain, ia bisa mengingat berbelok ke manakah ia sebelumnya. Kemampuan ini pun dimiliki sel sperma manusia.
Contoh yang lebih baik yaitu E. coli. Bakteri ini menghabiskan bagian dari siklus hidupnya berjalan di dalam sistem pencernaan manusia dan menghadapi kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Dalam rangkaian petualangannya, E. coli menemui gula laktosa sebelum ia menemukan gula lainnya, maltosa. Ketika pertama menemukan laktosa, E. coli mengaktifkan mesin biokimiawi yang dapat mencernanya. Namun saat bersamaan, ia juga mengaktifkan sebagian mesin untuk maltosa, sehingga ketika kemudian ia bertemu maltosa sistem percernaanya akan sudah siap.
Untuk membuktikan bahwa ‘memori’ ini bukan suatu kebetulan, para ilmuwan menumbuhkan E. coli selama beberapa bulan pada lingkungan laktosa tetapi tanpa maltosa. Mereka menemukan bahwa E. coli perlahan-lahan mengubah perilakunya sehingga mereka tidak lagi mengaktifkan sistem pencernaan untuk maltosa. (Nature, DOI: 10.1038/nature08112).
Kecerdasan perilaku mikroorganisme di atas mungkin baru permukaannya saja yang sudah kita ketahui, namun tentunya masih banyak perilaku luar biasa lain yang perlu digali untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, dan bukan tidak mungkin perilaku ini dapat kita manfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia.

Acute bacterial rhinosinusitis (ABRS)

Sinusitis merupakan penyakit inflamasi dari sinus paranasal. Berdasarkan letak anatominya, ada 4 pasang sinus paranasal yakni sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sphenoid. Dan sinusitis bisa saja menyerang tak hanya satu sinus, tapi bisa beberapa bahkan semua sinus. Kondisi terakhir lebih dikenal dengan sebutan pansinusitis .
Serangan sinusitis akut terjadi disebabkan terutama oleh rhinitis. Tak ayal jika penyakit ini dikenal juga rhinosinusitis. Acute bacterial rhinosinusitis (ABRS) biasanya berangkat juga dari infeksi virus saluran napas atas, gangguan imunodefisiensi, dan trauma yang bisa menyebabkan infeksi bakteri.
Biasanya sinusitis akut bisa sembuh dengan sendirinya. Tapi untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah komplikasi lebih lanjut ke arah kronik, bisa diberikan antibiotik dan antiinflamasi. Pemberian antibiotik poten seperti sefalosporin, kotrimoksazol, azitromisin, klaritromisin, dan kombinasi amoksisilin serta ampisilin dengan asam klavulanat dapat dipertimbangkan.
Sementara kasus sinusitis kronik, inflamasi menetap lebih dari tiga bulan, perlu ditangani oleh tenaga spesialis yakni THT. Pasalnya, selain cukup sulit untuk menegakkan diagnosa karena keluhan yang tidak khas, sinusitis kronik kerap hadir bersama dengan penyakit lain, semisal asma atau alergi. Biasanya, pengobatan yang diberikan untuk mengatasi penyakit penyerta tersebut bisa juga membantu mengatasi sinusitis kronik.
Berdasarkan panduan Mayo clinic, pemberian antibiotik tidak begitu membantu dalam penanganan sinusitis kronik. Pengobatan yang direkomendasikan adalah pemberian anti-histamin, semprot hidung steroid, dan steroid sistemik. Pengobatan harus disesuaikan dengan gejala dan tingkat keparahannya. Efek sedasi dari anti histamin konvensional, sekarang telah ter-cover dengan ditemukannya generasi baru yang lebih baik profil keamanannya.
Untuk intervensi awal untuk mengatasi gejala sinusitis bisa diberikan dekongestan. Obat jenis ini bekerja dengan menyempitkan pembuluh darah di hidung dan menghambat serta menurunkan risiko menjadi sinusitis parah akibat virus atau bakteri. Dekongestan banyak tersedia di pasaran dengan berbagai bentuk preparat; semprot, tetes, dan inhaler.
Zat aktif yang biasa digunakan pada dekongestan nasal mencakup oxymetazoline, xylometazoline, phenylephrine, naphazoline, dan tetrahydrozoline. Oxymetazoline dan xylometazoline merupakan dekongestan kerja panjang yang mulai berefek dalam beberapa menit dan tetap efektif selama 6-8 jam. Saat menggunakan semprot hidung, pasien harus menyemprotkan tiap lubang hidung sekali. Setelah beberapa menit hingga obat diserap mukosa hidung, baru dilakukan semprotan kedua.
Berikut beberapa semprot steroid yang biasa digunakan untuk penanganan rhinosinusitis atau sinusitis :

1. Fluticasone propionate

Farmakologi Fluticasone propionate adalah suatu kortikosteriod trifluorinasi yang bisa diberikan dalam formula intra. Studi in vitro pada cloned human glucocorticoid receptor system tampak 3 -5 kali lebih potensial ketimbang dexamethasone. Pada uji klinis pada dewasa, fluticasone propionate dalam spray menurunkan eusinofil mukosa nasal 66% (plasebo 35%) dan basofil 39% (placebo 28%). Spray ini, seperti kortikosteroid lainnya tidak memiliki efek yang mulai segera atau cepat mengatasi gejala alergi. Pengurangan gejala hidup dicatat terjadi setelah 12 jam pemberian spray. Serupa juga dengan kortisteroid jenis lain, saat pemberian dihentikan, gejala tidak muncul untuk beberapa hari.
Bagaimana mekanisme fluticasone propionate mengatasi gejala rhinitis alergi atau sinusitis tidak diketahui. Tapi diperkirakan kortikosteroid berefek pada sejumlah besar sel (sel mast, eusinofil, neutrofil, makrofag, dan limfosit) dan banyak mediator (histamin, eikoanoid, leukotrien, dan sitokin) yang terlibat dalam proses inflamasi.
Pemberian fluticasone propionate secara intranasal memiliki bioavailabilitas absolut kurang dari 2%. Persentase fluticasone propionate terikat dengan protein plasma sekitar 91. Klirens darah total fluticasone propionate cukup tinggi (sekitar1.093 mL/min), dengan klirens renal < 0,02% dari total. Satu-satunya metabolit yang berhasil dideteksi adalah turunan asam karboksilat-17 ß yang dibentuk melalui jalur sitokrom cytochrome P450 3A4. Pada pemberian intravena, waktu paruh sekitar 7,8 jam.
Indikasi Mengobati dan sebagai profilaksis rhinitis alergi musiman atau perennial dan sinusitis
Dosis & Cara Pemberian Dewasa dan anak 12 tahun keatas : 2 semprotan pada tiap lubang hidung (tiap semprot mengandung 50 mcg fluticasone propionate) sekali sehari, dianjurkan pada pagi hari. Pada beberapa kasus kadang dibutuhkan 2 semprotan 2 kali sehari. Maksimal semprotan tiap hidung per hari adalah 4 semprot.
Anak usia 4-11 tahun : satu semprotan per hari untuk tiap lubang hidung dan sebaiknya diberikan pada pagi hari. Pada beberapa kasus, kadang dibutuhkan satu semprot dua kali sehari. Maksimal semprotan per hari adalah 2 semprot untuk tiap lubang hidung.
Kontraindikasi Hipersensitif
Peringatan Hati-hati pada pasien hamil dan infeksi saluran hidung. Hati-hati saat mengalihkan pasien dari terapi steroid sistemik. Terapi tambhan perlu diberikan selama musim panas yang banyak alergen.
Efek Samping Hidung dan tenggorokan kering terkadang disertai iritasi, rasa tidak enak, bau dan epitaksis.
Nama dagang Cutivate, Flixonase

2. Budenoside

Farmakologi Budesonide adalah kortikosteroid sintetik yang memiliki aktivitas glukokortikoid potensial dan aktivitas mineral kortikoid lemah. Budesonide diperkirakan mengatasi alergi rhinitis atau sinusitis melalui aktivitas hambatannya pada serangkaian luas sel (yakni sel mast, eusinofil, neutrofil, makrofag, dan limfosit) dan mediator (histamine, eicosanoid, leukotrien, dan sitokin) yang terlibat dalam inflamasi yang dimediatori oleh alergen.
Budesonide diabsorpsi relatif baik setelah pemberian inhalasi maupun oral, dan secara cepat dimetabolisme menjadi metabolit dengan potensi kortikosteroid rendah. Makanya efek budesonide dari semprot hidup diperkirakan berasal dari obat induk, yakni budesonide.
Setelah pemberian intranasal budesonide, kadar puncak plasma dicapai pada sekitar 0,7 jam. Sekitar 34% dari dosis intranasal mencapai sirkulasi sistemik dibandingkan dengan pemberian intravena. Budesonide yang diabsorpsi dari saluran cerna, bioavailabilitasnya rendah sekali sekitar 10%. Hal ini karena efek metabolisme lintas pertama yang cukup ekstensif di hati.
Ikatan protein budesonide secara in vitro terlihat konstan (85–90%) dari suatu range konsentrasi (1-100 nmol/L). Waktu paruh terminal sekitar 2-3 jam. Setelah pemberian nasal spray pada anak tampak bahwa konsentrasi puncak plasma dan waktu parah sama antara anak dan dewasa. Anak memiliki kadar plasma dua kali orang dewasa terutama untuk mereka dengan perbedaan bobot badan.
Indikasi Mengobati dan sebagai profilaksis rhinitis alergi musiman atau perennial dan sinusitis.
Dosis & Cara Pemberian Dosis awal untuk dewasa dan anak >6 tahun : 64 mcg per hari. Berikan 2 semprotan (64 mcg) tiap lubang hidung pada pagi hari atau satu semprotan (32 mcg) pada pagi hari dan satu semprotan lagi di malam hari. Dosis maksimum dewasa dan anak >12 tahun : 256 mcg per hari yang diberikan 4 semprot tiap lubang hidung sekali sehari. Sementara dosis maksimum anak (<12 tahun) yang direkomendasikan adalah 128 mcg per hari diberikan 2 semprotan tiap hidung sekali sehari.
Kontraindikasi hipersensitif
Efek Samping Pendarahan ringan di hidung, epitaksis, dan kadang kjuga bersin.
Peringatan Hati-hati terhadap pasien yang mengalami infeksi jamur dan virus di hidung.
Nama dagang Rhinocort Aqua

3. Mometasone Furoate

Farmakologi Serupa dengan fluticasone propionate dan budesonide, mometasone furoate adalah kortikosteroid yang memiliki aktivitas anti inflamasi. Mometasone furoate diperkirakan mengatasi alergi rhinitis atau sinusitis melalui aktivitas hambatannya pada serangkaian luas sel (yakni sel mast, eusinofil, neutrofil, makrofag, dan limfosit) dan mediator (histamine, eicosanoid, leukotrien, dan sitokin) yang terlibat dalam inflamasi yang dimediatori oleh alergen
Indikasi Profilaksis dan mengobati gejala rhinitis atau sinusitis musiman atau parennial.
Dosis & Cara Pemberian Dewasa dan anak >12 tahun : 2 semprotan (50 mcg/semprot) pada tiap lubang hidung sekali sehari. Total dosis 200 mcg.
Efek samping Pendarahan, mukur bercampur darah, keluar flek darah, faringitas, nasal burning, dan iritasi hidung.
Kontraindikasi Hipersensitif, infeksi local pada mukosa hidung yang tidak diobati, infeksi jamur lokal di hidung dan faring.
Nama dagang Nasonex

Info Medion tentang antibiotik Edisi Agustus 2009

Antibiotik telah menjadi salah satu bagian yang mendukung produktivitas ayam, produksi telur dan pertumbuhan. Penggunaan antibiotik telah menjadi suatu kebutuhan dalam menjaga maupun memulihkan kesehatan ayam.

Kompleksitas penyakit yang menyerang menuntut kita menggunakan antibiotik secara tepat. Pemahaman kita mengenai antibiotik, baik karakter atau sifatnya sampai hal-hal yang berpengaruh terhadap daya kerja antibiotik haruslah kita optimalkan.

Penggunaan antibiotik bisa diibaratkan seperti pisau bermata dua. Disatu sisi antibiotik ini akan memberikan manfaat dikala diberikan secara tepat, namun bukan hal yang tidak mungkin pemakaiannya juga akan menimbulkan efek negatif, misalnya saja keracunan, disaat antibiotik diberikan secara kurang tepat.


Makna Antibiotik


Antibiotik bisa berarti zat aktif yang berasal dari mikroorganisme ataupun sintesis (buatan) yang dapat digunakan dalam konsentrasi rendah untuk menghambat atau membunuh organisme, baik bakteri, Mycoplasma maupun protozoa. Secara khusus antibiotik digunakan untuk pengobatan penyakit infeksi. Antibiotik bekerja dengan cara menekan atau memutus mata rantai metabolisme dalam tubuh mikroorganisme. Berbeda dengan desinfektan yang membasmi bibit penyakit dengan menciptakan lingkungan yang tidak sesuai bagi bibit penyakit tersebut.

Antibiotik awalnya ditemukan Alexander Fleming pada 1928 dan dinamakan penicillin G. Awalnya secara tidak sengaja kapang tumbuh di sediaan bakteri pada cawan petri yang lupa dibersihkan. Di bagian tumbuhnya kapang itu bakteri tidak ada yang berkembang, kondisi ini menstimulasi Alexander melakukan penilitian dan dari sanalah ditemukan antibiotik.

Karakteristik suatu antibiotik yaitu memiliki aktivitas menghambat (bakteriostatik) atau membunuh (bakterisid) mikroorganisme patogen. Toksisitas antibiotik juga bersifat selektif, dimana antibiotik ini aman bagi ayam namun bersifat racun (toksik) bagi mikroorganisme patogen.

Antibiotik dalam dosis tepat akan mampu secara aktif membunuh bibit penyakit dan mempunyai indeks terapi yang relatif aman. Indeks terapi diperoleh dari perbandingan dosis yang mengakibatkan kematian atau membahayakan (lethal dose) dibandingkan dosis yang efektif untuk membasmi penyakit (effective dose). Nilai indeks terapi yang semakin tinggi menunjukkan antibiotik semakin aman bagi ayam. Hal ini dapat diartikan antibiotik memiliki dosis membahayakan yang sangat tinggi dan dengan dosis yang kecil antibiotik telah efektif membasmi bibit penyakit.

Dalam dunia perunggasan, antibiotik dapat digunakan untuk pengobatan atau pencegahan penyakit. Selain itu, ada beberapa antibiotik yang difungsikan sebagai growth/egg promoter.

Kelompok Antibiotik


Saat ini telah ditemukan begitu banyak antibiotik, baik natural (alami) maupun sintetis (buatan). Antibiotik-antibiotik itu bisa diklasifikasikan ke dalam setidaknya tiga kelompok antibiotik berdasarkan spektrum kerja, sifat maupun struktur kimia.

Berdasarkan spektrum kerja, antibiotik dikelompokkan menjadi 2, yaitu :

Berspektrum sempit

Kelompok antibiotik ini hanya bekerja aktif terhadap bakteri tertentu, yaitu Gram (+) atau Gram (-) saja. Sebagai contohnya golongan peptida yang hanya bekerja aktif pada bakteri Gram (-). Golongan makrolida juga memiliki spektrum kerja sempit, hanya efektif untuk bakteri Gram (+) dan Mycoplasma. Sediaan antibiotik ini relatif jarang ditemukan, biasanya antibiotik ini diformulasikan berkombinasi dengan antibiotik lain sehingga memiliki spektrum yang lebih luas. Tysinol dan Tyfural merupakan contoh sediaan yang mengandung antibiotik dengan spektrum kerja sempit.

Antibiotik dengan spektrum kerja sempit hendaknya digunakan saat diagnosa penyakit telah dipastikan. Dan daya kerja antibiotik ini akan lebih optimal jika penyakit disebabkan oleh satu jenis bakteri.

Berspektrum luas

Antibiotik ini memiliki kemampuan membunuh beberapa macam bakteri, yaitu Gram (+) sekaligus Gram (-) dan juga Mycoplasma serta protozoa. Antibiotik golongan ini biasanya digunakan pada saat gejala ayam sakit belum spesifik atau sebagai upaya pencegahan serangan penyakit pada saat kondisi kandang tidak nyaman. Ayam yang terserang komplikasi beberapa jenis bakteri juga bisa diatasi dengan pemberian antibiotik dengan spektrum luas ini.

Fluoroquinolon, tetrasiklin dan sulfonamida merupakan golongan antibiotik yang memiliki spektrum kerja luas. Produk Medion yang memiliki spektrum kerja luas antara lain Proxan-C, Proxan-S, Neo Meditril, Trimezyn, Sulfamix atau Vita Tetra Chlor.


Berdasarkan sifatnya, antibiotik dibedakan menjadi bakteriostatik dan bakterisid. Antibiotik yang bersifat bakteriostatik bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri melalui mekanisme hambatan sintesis protein. Pemberian antibiotik ini akan menekan konsentrasi atau jumlah bakteri yang menginfeksi sehingga berada dibawah batas konsentrasi untuk menimbulkan gejala klinis.

Lain halnya dengan antibiotik bakterisid yang bekerja membunuh bakteri. Mekanisme kerjanya dengan menghambat pembentukan dinding sel dan membran sel maupun menghambat pembentukan DNA atau inti sel.

Antibiotik yang bersifat bakteriostatik antara lain golongan makrolida, tetrasiklin, sulfonamida dan diaminopirimidin yang terdapat pada Tyfural, Coxy atau Doxyvet. Aminoglikosida, fluoroquinolon, penisilin dan peptida merupakan golongan antibiotik yang bersifat bakterisid. Contoh produknya antara lain Gentamin, Vet Strep, Proxan-C dan Neo Meditril.

Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dapat dibedakan menjadi 8 golongan, yaitu penisilin, aminoglikosida, fluoroquinolon, peptida, makrolida, tetrasiklin, sulfonamida dan diaminopirimidin.

Penisilin

Penisilin merupakan antibiotik yang bersifat bakterisid (membunuh). Turunan terbaru dari antibiotik yang ditemukan pertama kali pada tahun 1928 tersebut efektif membasmi bakteri Gram (+) dan Gram (-). Antibiotik hasil penemuan Fleming ini mudah diserap oleh tubuh melalui usus dan cepat masuk ke darah.

Antibiotik yang termasuk antibiotik -laktam ini bekerja pada dinding sel bakteri dan berikatan dengan penicillin binding protein. Mekanisme ini akan mengakibatkan bakteri mati. Amoxitin dan Ampicol mempunyai kandungan aktif antibiotik ini.

Aminoglikosida

Antibiotik yang mengandung amino dan glikosida ini bekerja secara langsung pada ribosom bakteri, membran sel dan menghambat sintesa protein sehingga bakteri akan mati (bakterisid). Antibiotik ini tidak bisa diserap melalui usus sehingga untuk tujuan pengobatan yang bersifat sistemik aplikasinya dilakukan secara injeksi (suntikan), baik subkutan (bawah kulit) maupun intramuskuler (tembus dinding atau otot).

Saat diberikan, antibiotik ini akan bekerja optimal membasmi bakteri Gram (+) dan Gram (-). Hanya saja saat terjadi gangguan ginjal, seperti pada kasus infeksi Gumboro maupun infectious bronchitis (IB) pemakaian antibiotik ini hendaknya dihindari karena akan memicu kerusakan ginjal yang lebih parah. Contoh obat yang mengandung antibiotik golongan aminoglikosida adalah Gentamin, Kanamin dan Vet Strep.

Fluoroquinolon

Struktur salah satu antibiotik fluoroquinolon


Antibiotik ini mulai dikenal tahun 1962 oleh Lesher. Pada aplikasinya, sediaan obat yang mengandung antibiotik golongan fluoroquinolon banyak tersedia. Proxan-S, Proxan-C, Neo Meditril, Doctril dan Coliquin merupakan contoh sediaan antibiotik dari golongan fluoroquinolon.

Ketika “kontak” dengan bakteri, flouroquinolon akan menyerang inti sel (DNA) bakteri dengan menghambat enzim DNA gyrase. Mekanisme ini akan mengakibatkan bakteri mati (bakterisid). Antibiotik ini memiliki spektrum kerja yang luas, baik terhadap bakteri Gram (+), Gram (-) dan Mycoplasma.

Aplikasi pemberiannya dapat dilakukan secara oral (melalui saluran pencernaan) maupun injeksi, baik subkutan atau intramuskuler. Agar obat bekerja optimal hindari adanya mineral/logam seperti Ca2+, Mg2+ dan Al3+ dalam air minum yang digunakan untuk melarutkan obat karena bisa menurunkan penyerapan obat di saluran pencernaan.

Peptida

Antibiotik ini bekerja aktif membunuh (bakterisid) bakteri Gram (-) dengan cara merusak atau menghambat membran sel. Antibiotik golongan ini tidak diserap oleh usus sehingga lokasi kerjanya bersifat lokal. Obat yang hanya mengandung antibiotik golongan peptida relatif jarang, biasanya dikombinasikan dengan golongan lain untuk meningkatkan potensi dan spektrum kerjanya, seperti Amoxitin dan Tycotil.

Makrolida

Struktur antibiotik golongan makrolida


Golongan antibiotik ini efektif untuk mengatasi bakteri Gram (+) dan Mycoplasma. Pemberian antibiotik ini akan bekerja mengganggu proses sintesis protein melalui mekanisme berikatan dengan ribosom 30S.

*

Tetrasiklin

Tetrasiklin merupakan antibiotik yang bersifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri) dengan cara menghambat sintesis protein dengan berikatan pada ribosom 30S. Antibiotik yang ditemukan pertama kali oleh Lloyd Conover ini memiliki spektrum kerja yang luas, dimana bisa mengatasi infeksi bakteri Gram (+), Gram (-) dan Mycoplasma.

Cara aplikasi antibiotik golongan tetrasiklin bisa dilakukan melalui oral maupun suntikan (subkutan atau intramuskuler). Hanya saja jika diberikan melalui oral sebaiknya memperhatikan kandungan logam Ca2+, Mg2+ dan Al3+ karena dapat menurunkan daya serap saat berada di usus. Feed supplement yang mengandung mineral sebaiknya diberikan pada waktu yang berbeda dengan pemberian antibiotik fluoroquinolon dan tetrasiklin, misalnya pemberian antibiotik pada pagi hingga sore hari dan supplement pada malam hari atau setelah pengobatan berakhir.

Medion telah memproduksi obat dengan kandungan antibiotik dari golongan tetrasiklin, diantaranya Doxyvet, Koleridin maupun Vita Tetra Chlor.


*

Sulfonamida

Sulfamix, Coxy, Trimezyn dan Respiratrek adalah produk Medion yang mengandung antibiotik dari golongan sulfonamida. Antibiotik yang ditemukan Gerhard Domagk ini telah dikenal luas oleh masyarakat, termasuk masyarakat peternakan.

Antibiotik ini bersifat bakteriostatik, yaitu bekerja menghambat pertumbuhan bakteri. Mekanismenya melalui hambatan pada sintesis asam folat sehingga mengganggu perkembangan bakteri. Saat diberikan pada ayam baik secara oral maupun suntikan (subkutan, intramuskuler), antibiotik yang telah digunakan sejak 1933 ini akan mampu mengatasi infeksi bakteri Gram (+), Gram (-) dan protozoa. Agar daya kerja lebih optimal, saat pemberian obat dengan kandungan antibiotik ini sebaiknya tidak diberikan suplemen berupa vitamin B dan atau asam amino. Selain itu, saat ayam mengalami gangguan ginjal sebaiknya penggunaan antibiotik ini dihindari.

Struktur kimia salah satu antibiotik golongan sulfonamida

Diaminopirimidin

Antibiotik golongan ini bersifat bakteriostatik. Mekanisme kerja dari antibiotik ini ialah menghambat sistesis (pembentukan) asam folat. Pemberiannya efektif untuk mengatasi serangan bakteri Gram (+) dan Gram (-). Aplikasinya dapat dilakukan secara oral maupun suntikan, baik subkutan maupun injeksi.

Daya kerja yang sinergis antara sulfonamida dan diaminopirimidin


Antibiotik ini biasanya dikombinasikan dengan golongan sulfonamida untuk meningkatkan daya kerjanya dan menurunkan tingkat resistensi bakteri terhadap kedua antibiotik ini. Kedua antibiotik ini memiliki mekanisme kerja yang sinergis, saling menguatkan. Trimezyn, Respiratrek, Erysuprim dan Antikoksi ialah produk Medion yang mengandung kombinasi kedua antibiotik tersebut.


Golongan antibiotik yang telah disebutkan sebelumnya bisa diformulasikan dalam bentuk tunggal maupun kombinasi. Tujuan kombinasi ini antara lain meningkatkan daya kerja dan spektrum kerja, menurunkan efek samping serta meminimalkan terjadinya resistensi. Hanya saja kombinasi ini tidak serta merta bisa dilakukan, alih-alih kombinasi yang tidak sesuai akan menurunkan daya kerjanya. Syarat kombinasi antibiotik ini haruslah dapat tercampur secara fisik, kimia dan farmakologi.

*

Tercampur secara fisik artinya kedua antibiotik dapat tercampur homogen
*

Tercampur secara kimia : saat antibiotik dicampurkan tidak terjadi reaksi kimia yang merugikan diantara keduanya, yang biasanya ditandai dengan perubahan warna yang berbeda dari kedua warna produk, adanya endapan atau terbentuknya gas
*

Tercampur secara farmakologi yaitu tidak terjadi interaksi antara kedua antibiotik yang menyebabkan turunnya potensi atau meningkatnya efek samping atau toksisitas

Melihat persyaratan tersebut, alangkah lebih baiknya jika kita membatasi pencampuran antibiotik yang dilakukan sendiri, tanpa pengetahuan yang lengkap. Bukan sebuah keniscayaan jika kombinasi antibiotik tidak tepat malah akan menurunkan potensi atau daya kerjanya. Sebagian besar produk obat Medion telah tersedia dalam bentuk kombinasi sehingga kita bisa menggunakan produk yang sudah ada.


Aplikasi Antibiotik


Pengetahuan kita mengenai antibiotik menjadi dasar kita untuk memilih obat yang tepat. Agar antibiotik ini bekerja secara optimal kita hendaknya memahami mengenai prinsip pengobatan, yaitu :

Obat harus sesuai dengan jenis penyakit yang menyerang

Setiap obat memiliki efek yang berbeda dan spesifik untuk setiap penyakit. Bagaimanapun baiknya cara pemberian obat, tetapi bila kita salah dalam memilih jenis obat, maka tidak akan diperoleh efek pengobatan yang diinginkan. Contoh : Pengobatan dengan Ampicol atau Amoxitin untuk mengatasi penyakit CRD tidak akan berhasil karena bakteri penyebab CRD, yaitu Mycoplasma gallisepticum tidak punya dinding sel sebagai reseptor Ampicol atau Amoxitin. Sebaiknya obat yang diberikan dari golongan tetrasiklin seperti Doxyvet karena kemampuannya menghambat sintesis protein pada reseptor M. gallisepticum (ribosom 30S)

Struktur tubuh M. gallisepticum yang tidak memiliki dinding sel


*

Obat bisa mencapai organ sakit atau lokasi kerja

Pemilihan rute pengobatan menjadi hal yang penting untuk memastikan obat dapat mencapai organ atau lokasi kerja yang diinginkan. Untuk mengobati penyakit infeksi pernapasan yang parah dan diinginkan efek segera, maka rute parenteral (injeksi atau suntikan) menjadi pilihan utama. Bila tidak tersedia sediaan parenteral, maka sediaan oral melalui cekok atau air minum dengan kandungan obat yang mempunyai efek sistemik dapat menjadi alternatif pilihan. Dengan memilih dan mengaplikasikan rute pengobatan yang benar, maka kemungkinan obat rusak atau tereliminasi sebelum mencapai organ target dapat diminimalisasi


*

Obat mencapai kadar yang cukup

Untuk menghasilkan efek pengobatan, obat harus mencapai kadar efektif minimum atau Minimum Inhibitory Concentration (MIC). Sebelum obat mencapai MIC, obat tidak akan bekerja menghasilkan efek pengobatan.

Kadar obat di dalam tubuh dipengaruhi oleh kondisi alamiah tubuh ayam sendiri, dimana ayam mempunyai respon yang berbeda terhadap obat yang dimasukkan ke dalam tubuhnya. “Nasib” obat di dalam tubuh ayam dapat diketahui melalui uji farmakokinetik. Para apoteker dan dokter hewan menggunakan hasil uji farmakokinetik tersebut sebagai dasar penentuan dosis sehingga obat dapat mencapai organ target dalam jumlah yang cukup melalui rute pengobatan tertentu


*

Obat mampu bertahan dalam waktu yang cukup

Secara alami, kadar obat di dalam tubuh akan berkurang dalam jangka waktu tertentu (dieliminasi dari tubuh). Ada parameter penting yang berhubungan dengan kecepatan eliminasi obat, yaitu waktu paruh. Waktu paruh yang diberi simbol T1/2 merupakan waktu yang diperlukan tubuh untuk mengeliminasi obat sebanyak 50% dari kadar semula. Obat dengan T1/2 pendek akan berada di dalam tubuh lebih singkat dibanding dengan yang mempunyai T1/2 panjang. Pada aplikasinya, obat dengan T1/2 pendek perlu diberikan dengan interval waktu lebih pendek, misalnya diberikan 2-3 kali sehari untuk mempertahankan kadar efektif di dalam darah.


Oleh karena itu, saat melakukan pengobatan kita harus tepat dalam mendiagnosa penyakit, memilih jenis obat, menentukan rute pemberian obat (oral, suntikan) maupun dosis dan lama pemberian obat sesuai dengan dosis dan aturan pakai yang tercantum pada etiket atau leaflet.

Beberapa hal yang harus dihindari saat proses pengobatan agar daya kerja atau keampuhan obat tetap optimal diantaranya mencampur obat dengan desinfektan karena dapat menurunkan potensi bahkan merusak obat. Hindari pula penggunaan air dengan kualitas rendah. Air minum dengan kesadahan tinggi akan mengakibatkan terbentuknya senyawa kompleks dengan tetrasiklin. pH air minum yang tinggi dapat menyebabkan Doxyvet, Amoxitin maupun Trimezyn mengendap sedangkan pH yang rendah akan mengendapkan Respiratrek.

Antibiotik bisa diibaratkan pisau bermata dua. Aplikasi yang tepat akan menghasilkan efek menekan atau membasmi bibit penyakit, namun diberikan sembarangan akan merugikan ayam. Antibiotik harus diberikan secara tepat agar daya kerjanya optimal.


Info Medion Edisi Agustus 2009

http://info.medion.co.id/index.php/artikel/layer/pengobatan-a-vaksinasi/review-antibiotik

Ketidakrasionalan penggunaan antibiotik

 Ketidakrasionalan penggunaan antibiotik mendorong terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik di dunia. Masalah ini menimbulkan ancaman pandemi.
Hal itu mengemuka dalam seminar Antimicrobial Resistance-Containment and Prevention di Jakarta, Kamis (7/4), dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Sedunia. Dalam kesempatan yang sama diluncurkan Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik oleh Kementerian Kesehatan.
Kepala Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Indonesia Khanchit Limpakarnjanarat menyatakan, di dunia lebih dari 50 persen antibiotik tidak layak diresepkan dan sekitar 50 persen pasien tidak mengonsumsi obat secara tepat. Akibatnya, terjadi resistensi bakteri terhadap antibiotik.

Dia mencontohkan, di dunia ada sekitar 180.000 kasus tuberkulosis resisten obat (MDR-TB) per tahun. Selain itu, ada kuman penyebab kolera yang resisten terhadap kotrimoksazol dan tetrasiklin. Di Thailand, 69 persen Streptococcus pneumoniae penyebab infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) resisten terhadap penisilin.
”Resistensi obat dapat mengakibatkan ledakan kasus dan ancaman pandemi. Kuman yang resisten menyebar melintasi batas-batas negara,” kata dia.
Di Indonesia, kesadaran akan penggunaan antibiotik secara rasional minim. Guru Besar Farmakologi dari Universitas Gadjah Mada Iwan Dwiprahasto mengatakan, penggunaan antibiotik tidak rasional dalam kasus ISPA mencapai 94 persen dan diare 87 persen. Sebaliknya, untuk penyakit yang membutuhkan antibiotik justru hanya 20 persen yang mendapatkan antibiotik.
Data tersebut hasil riset yang diselenggarakan di lima provinsi, yakni Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Barat oleh Universitas Gadjah Mada tahun 2004. Iwan menduga, sampai kini tidak banyak perubahan. Hasil penelitian lain yang dilakukan di 56 puskesmas di 3 distrik di Aceh tahun 2010 menunjukkan, 60 persen anak yang tidak membutuhkan diresepkan antibiotik.
Menurut Iwan, ada penggunaan antibiotik lewat pakan untuk unggas sekitar 20-25 persen. Antibiotik itu tersisa dalam telur dan daging sehingga manusia tanpa sadar mengonsumsi.
Untuk mencegah pandemi, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengimbau kerja sama berbagai pihak mulai pengelola fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, hingga masyarakat. Dokter diharapkan rasional dalam meresepkan obat. ”Kalau ada dokter yang melanggar pedoman pemberian antibiotik atau obat keras lain akan diberikan sanksi mulai dari peringatan, sanksi administrasi, hingga pembekuan izin praktik,” kata Endang. Apotek juga diminta tidak sembarangan memberikan antibiotik

Mekanisme ketahanan terhadap antibiotik

Ketahanan terhadap antibiotik merupakan salah satu bentuk mekanisme adaptasi mikroorganisme (dalam hal ini bakteri) untuk dapat tetap eksis dan hidup pada lingkungannya dengan keberadaan antibiotik. Ketahanan terhadap antibiotik ini umumnya bersifat heritable (diwariskan dan atau turun temurun) dari sel induk sebelumnya mengingat akan model perkembangan sel bakteri yang umumnya melalui pembelahan binner.
Secara umum, ketahanan bakteri terhadap antibiotik ini diatur oleh gen-gen resistensi terhadap antibiotik yang dimiliki oleh bakteri. Keberadaan gen-gen itu sendiri, umumnya terletak pada plasmid, ada yang bersifat single resistant (Virdis et al., 2010) atau multiresistant atau yang dikenal dengan superbugs (Mehr et al., 2010).
Sebelum mengetahui bagaimana bakteri dapat tahan terhadap antibiotik, maka, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana aksi dari antibiotik terhadap bakteri. Dengan demikian mekanisme ketahanan terhadap antibiotik dapat diketahui melalui reaksi bakteri terhadap aksi antibiotik.
Secara umum, aksi dari antibiotik tergantung dari sifat antibiotik tersebut yang di antaranya:
1.  Menghambat sistesis protein
2.  Menghambat sintesis membran atau dinding sel
3. Penghambat Kompetitor enzim
Dengan 3 aksi dari antibiotik tersebut maka secara garis besar mekanisme ketahanan bakteri terhadap antibiotik dapat dilakukan melalui beberapa cara di antaranya:
  1. Menginaktivasi atau memodifikasi antibiotik, sebagai contohnya deaktivasi secara enzimatik  Ceftazidime dengan memproduksi enzim β-lactamase  (Niumsup and Wuthiekanun, 2002).
  2. Mengubah target site dari antibiotik. sebagai contohnya,  pengubahan Penicillin Binding Protein (binding target site dari penicillins) padabakteri-bakteri yang tahan terhadap penicillin (Rice et al., 2009).
  3. Mengubah jalur metabolis. sebagai contohnya beberapa bakteri yang tahan terhadap sulfonamida tidak membutuhkan para-aminobenzoic acid (PABA), sebuah prekursor penting untuk sintesis asam folat dan asam nukleat di dalam bakteri yang dihambat oleh sulfonamida. Seperti pada sel mamalia, bakteri akan menggunakan pre-asam folat sebagai prekursornya (Feldman, 1967).
  4. Mengurangi akumulasi antibiotik dalam sel. Umumnya hal ini dilakukan dengan mengurangi permeabilitas terhadap antibiotik dan atau meningkatkan efflux (pemompaan keluar) antibiotik dari dalam sel melewati permukaan sel (Webber and Piddcock, 2002).
Mekanisme ketahanan terhadap antibiotik
Sumber: http//atmanarief.blogspot.com
PUSTAKA
Feldman H. A. 1967. Sulfonamides-resistant meningococci. Annual Review of Medicine 18: 495-506.
Mehr, M. T., H. Khan, T.M. Khan, N.U. Iman, S. Iqbal and S. Adnan. 2010. E. coli urine superbug and its antibiotic sensitivity- a prospective study.  J. Med. Sci. 18(2)110-113.
Niumsup, P.  and V. Wuthiekanun. 2002. Cloning of the class D beta-lactamase gene from Burkholderia pseudomallei and studies on its expression in ceftazidime-susceptible and – resistant strain. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 50:445-455.
Rice, L. B., L. L. Carias, S.Rudin,  R. Hutton,  S. Marshall, M. Hassan, N. Josseaume, L. Dubost, A. Marie and M. Arthur. 2009.  Role of class A penicillin-binding proteins in the expression of beta-lactam resistance in Enterococus faecium. Journal of Bacteriology 191 (11): 3649-3656.
Virdis, S., C. Scarano, F. Cossu, V.Spanu, C. Spanu and E.P.L.De Santis. 2010.  Antibiotic resistance in Staphylococcus aureus and coagulase negative staphylococci isolated from goats with subclinical mastitis. Veterinary Medicine International. Doi:10.4061/2010/517060.
Webber M. A and L.J.V. Piddcock. 2002. The importance of efflux pumps in bacterial antibiotic resistance. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 51, 9-11

Asumsi Dasar Pemakaian Antibiotik

Asumsi Dasar Pemakaian Antibiotik
• Sifat toksisitas selektif : membunuh mikroorganisme yang menginvasi host tanpa merusak sel host.
• Toksisitas Antibiotik lebih bersifat relatif daripada absolut : perlu kontrol konsentrasi obat secara hati-hati sehingga dapat ditolerir tubuh.

Seleksi Obat Antimikroba

Dasar pertimbangan (ideal) :
• Identifikasi & sensitivitas organisme,
• Tempat infeksi,
• Status pasien (umur, BB, keadaan patologis, kehamilan & laktasi),
• Keamanan antibiotik,
• Biaya.

Dalam prakteknya :
• Terapi empirik sebelum identifikasi organisme.
• Berdasar bukti-bukti ilmiah & pengalaman, dengan mempertimbangkan : mengutamakan obat bakterisid, memilih obat dengan daya penetrasi baik (jaringan tubuh, sistem saraf pusat), memilih obat dengan frekuensi pemberian rendah (drug compliance), mengutamakan obat dengan pengikatan protein rendah, tidak merutinkan penggunaan antibiotik mutakhir (misalnya sefalosporin gen-3) agar terjamin ketersediaan antibiotik yang lebih efektif bila dijumpai resistensi)

Pemberian AB :
• Dosis : kadar obat di tempat infeksi harus melampaui MIC kuman. Untuk mencapai kadar puncak obat dlm darah, kalau perlu dengan loading dose (ganda) dan dimulai dengan injeksi kemudian diteruskan obat oral.
• Frekuensi pemberian : tergantung waktu paruh (t½) obat. Bila t½ pendek, maka frekuensi pemberiannya sering.
• Lama terapi : harus cukup panjang untuk menjamin semua kuman telah mati & menghindari kekambuhan. Lazimnya terapi diteruskan 2-3 hari setelah gejala penyakit lenyap.

Antibiotik Berdasarkan Mekanisme Kerja
Bakteriostatika :
• Menahan pertumbuhan & replikasi bakteri pada kadar serum yang dapat dicapai tubuh pasien.
• Membatasi penyebaran infeksi saat sistem imun tubuh bekerja memobilisasi & mengeliminasi bakteri patogen.
• Misalnya : Sulfonamid, Kloramfenikol, Tetrasiklin, Makrolid, Linkomisin.
Bakterisid :
• Membunuh bakteri serta jumlah total organisme yang dapat hidup & diturunkan.
• Pembagian : a) Bekerja pd fase tumbuh kuman, misalnya : Penisilin, Sefalosporin, Kuinolon, Rifampisin, Polipeptida. b) Bekerja pada fase istirahat, misalnya : Aminoglikosid, INH, Kotrimoksazol, Polipeptida.

Spektrum Antimikroba
• Spektrum Sempit : bekerja hanya pada mikroorganisme tunggal / grup tertentu. Misalnya, Isoniazid untuk mikobakteria.
• Spektrum Sedang : efektif melawan organisme Gram (+) & beberapa bakteri Gram (-). Misalnya, Ampisilin.
• Spektrum Luas : mempengaruhi spesies mikroba secara luas. Misalnya, Kloramfenikol & Tetrasiklin.

Kombinasi Obat-Obat Antimikroba

Pemberian AB tunggal lebih dianjurkan untuk :
• Organisme penyebab infeksi spesifik.
• Menurunkan kemungkinan superinfeksi.
• Menurunkan resistensi organisme.
• Mengurangi toksisitas

Pemberian Antibiotik kombinasi untuk keadaan khusus :
• Infeksi campuran.
• Ada risiko resistensi organisme, misalnya pada TBC.
• Keadaan yang membutuhkan AB dengan dosis besar, misalnya sepsis, dan etiologi infeksi yang belum diketahui.

Keuntungan Pemberian Antibiotik kombinasi :
• Efek sinergistik / potensiasi, misalnya : a) Betalaktam + Aminoglikosid; b) Kotrimoksazol (Sulfametoksazol + Trimetoprim); c) MDT pada AIDS (AZT + Ritonavir + 3TC).
• Mengatasi & mengurangi resistensi, misalnya : a) Amoksisilin + Asam klavulanat; b) Obat-obat TBC & lepra; c) MDT pada AIDS.
• Mengurangi toksisitas, misalnya : Trisulfa + sitostatika.

Kerugian Pemberian Antibiotik kombinasi :
• Antagonisme pada penggunaan bakteriostatika & bakterisid yang bekerja pada fase tumbuh.
Resistensi Obat

Definisi “resisten” :
• Bila pertumbuhan bakteri tidak dapat dihambat oleh antibiotik pada kadar maksimal yang dapat ditolerir host.

Penyebab resistensi :
• Perubahan genetik,
• Mutasi spontan DNA,
• Transfer DNA antar organisme (konjugasi, transduksi, transformasi),
• Induksi antibiotik.

Perubahan ekspresi protein pada organisme yang resisten :
• Modifikasi tempat target,
• Menurunnya daya penetrasi obat (adanya lapisan polisakarida, adanya sistem efluks),
• Inaktivasi oleh enzim.

Antibiotika Profilaktik
• Pemberian antibiotik untuk pencegahan infeksi, bukan untuk pengobatan infeksi.
• Lama pemberian ditentukan oleh lamanya risiko infeksi.
• Dapat timbul resistensi bakteri & superinfeksi.

Komplikasi Terapi AB
• Hipersensitivitas, misalnya pada pemberian Penisilin berupa reaksi alergi ringan (gatal-gatal) hingga syok anafilaktik.
• Toksisitas langsung, misalnya pada pemberian Aminoglikosid berupa ototoksisitas.
• Superinfeksi, misalnya pada pemberian antibiotik spektrum luas atau kombinasi akan menyebabkan perubahan flora normal tubuh sehingga pertumbuhan organisme lain seperti jamur menjadi berlebihan dan resistensi bakteri.

Klasifikasi Antibiotik berdasarkan mekanisme kerjanya :
• Inhibitor metabolisme asam folat (antagonisme kompetisi).
• Inhibitor sintesis dinding sel, misalnya betalaktam, vankomisin.
• Inhibitor sintesis membran sel.
• Inhibitor sintesis protein sel, misalnya tetrasiklin, aminoglikosid, makrolid, klindamisin, kloramfenikol.
• Inhibitor sintesis / fungsi asam nukleat, misalnya fluorokuinolon, rifampin.

kontra indikasi 2 antibiotik

senyawa yang mengandung antibiotik sering kali menjadi buah semalakama. Pada satu sisi dipercaya dapat mempercepat proses penyembuhan. Di lain sisi, antibiotik diyakini akan menimbulkan masalah kesehatan baru pada si kecil.
Obat antibiotika, umumnya banyak dipakai untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Obat-obatan sepertiPenisilin (khusus bayi), Cloran Feniko, Sefalos Sporin, Tetrasiklin (khusus anak di atas 8 tahun) dan Quinolon (khusus anak besar), diberikan dokter bersama sejumlah obat lain. Umumnya, dokter akan menyarankan untuk `meminumnya sampai habis, baik pada resep maupun secara lisan.

Secara medis, antibiotik merupakan senyawa mikroorganisme seperti jamur atau bakteri tertentu yang telah “dijinakkan” dan bila dimasukkan ke dalam tubuh dapat menjadi penyembuh yang ampuh. Antibiotik berperang melawan bakteri-bakteri di dalam tubuh. Namun perlu diingat, penggunaannya tidak boleh sembarangan. Bila dikonsumsi berlebihan akan berisiko tinggi pada kesehatan si kecil.

Pada dasarnya, obat yang ditemukan oleh Alexander Fleming dari Scotlandia di tahun 1928 ini mempunyai dua cara kerja. Pertama, mampu menghambat pertumbuhan bakteri penyakit (bakteriostassis) dan membunuh bakteri penyakit tersebut (baktericidal). Sehingga obat ini mampu menghilangkan dan membasmi bakteri tanpa menimbulkan efek samping yang berarti pada tubuh yang mengonsumsinya.

Namun, bukan berarti semua penyakit dapat diberikan antibiotik. Menurut Dr Hinky Hindra Irawan Satari SpA MTropaed, obat antibiotik umumnya diberikan pada penyakit-penyakit infeksi atau yang disebabkan oleh bakteria saja. Misalnya, penyakit-penyakit yang berkenaan dengan infeksi saluran pernapasan, saluran pencernaan atau peradangan telinga.

Nah, untuk lebih jelasnya, berikut ini beberapa mitos dan fakta tentang penggunaan obat antibiotika:

Berhenti minum obat setelah sembuh

Menurut Hindra, banyak masyarakat awam yang meminum obat antibiotik secara salah, yaitu tidak menepati petunjuk meminum obat yang diberikan oleh dokter. Kebanyakan masyarakat awam, bila ia merasa sudah baikan, obat yang diberikan tidak lagi diminum. Misalnya, bila obat yang diberikan seharusnya diminum selama 7 hari, tapi baru 3 hari diminum sudah tidak diminum lagi. Pendapat ini merupakan cara yang salah. Padahal, meminum obat antibiotik tidak sesuai anjuran dokter atau penggunaan antibiotik dengan dosis rendah ini berbahaya.

Antibiotik tidak efektif

Banyak masyarakat awam “kecewa” dengan pemberian obat antibiotik. Banyak yang mengatakan, bahwa obat ini tidak efektif dalam menyembuhkan beberapa penyakit. Pada kenyataannya, antibiotik yang tidak efektif ini bisa disebabkan oleh bakteri yang sudah menjadi kebal terhadaap beberapa jenis obat antibiotik. Misalnya, konon penyakit akibat bakteri Streptococcus (penyebab penyakit pneumonia atau radang paru-paru) tidak bisa lagi disembuhkan dengan antibiotik jenis Vancomycin. Menurut Centre for Disrase Control and Prevention (CDCP), hal ini terjadi akibat adanya mutasi bakteri di dalam tubuh yang membuat bakteri Streptococcus kebal terhadap antibiotik. Bakteri-bakteri yang kebal ini, akan terus menginfeksi dan bahkan terus melipatgandakan jumlahnya sehingga menimbulkan ancaman baru yang lebih mengerikan pada tubuh.

Antibiotik menyebabkan gigi kuning

Saat ini teknologi dunia kedokteran sudah canggih, sehingga ahli media dapat menekan sebanyak mungkin efek samping antibiotik yang merugikan terhadap tumbuh kembang si kecil. Sebagian besar jenis antibiotik yang digunakan dokter saat ini tidak akan membuat gigi berubah warna. Tetapi memang ada satu jenis antibiotik yang sensitif bagi gigi, biasanya obat ini tidak boleh diberikan sebelum seorang anak berusia 8 tahun, yaitu jenis Tetrasiklin, karena sifatnya yang mengendap pada gigi.
 
Antibiotik bisa mengganggu kecerdasan

Pendapat ini, menurut Hindra adalah mitos belaka. “Penggunaan obat antibiotik tidak ada hubungannya sama sekali dengan kecerdasan anak,” tukasnya. Pada kenyataannya, kecerdasan anak dapat terganggu jika pada masa keemasan anak (usia 0-5 tahun), ia sering sakit  dan pengobatan dilakukan tidak secara maksimal atau serampangan. Misalnya, salah dalam menggunakan obat termasuk antibiotik yang mengakibatkan penyakit si kecil menjadi berlarut-larut. Sehingga ia tidak dapat memanfaatkan waktunya untuk menjalani proses tumbuh kembang.

Menyebabkan jamur pada rongga mulut

Jamur yang terlihat seperti lapisan atau selaput putih yang menonjol pada mulut, merupakan jenis jamur Candida albicans. Jamur ini sebenarnya merupakan penghuni normal di mulut. Namun jika keseimbangannya terganggu, seperti penggunaan antibiotik yang tidak tepat, akan menguntungkan jamur untuk tumbuh dan menyebabkan gejala infeksi.

Antibiotik pencetus diare

Pada bayi, penggunaan antibiotik kadang bisa menyebabkan terjadinya diare. Gejalanya seperti tinja yang encer, kadang ditambah kondisi lebih sering buang air besar, kotoran lebih banyak, ada lendir, dan muntah. Keadaan ini kemungkinan besar akibat efek samping dari kerja obat dalam mengatasi infeksi dan bakteri penyebab penyakit.

Gunakan antibiotik secara aman

Perhatikan petunjuk penggunaan obat yang diberikan oleh dokter, misalnya apakah penggunaan antibiotik memang diperlukan oleh penyakit si kecil. Gunakan sesuai dosis yang dianjurkan, jangan memberikan antibiotik dengan dosis yang kelewat rendah atau tinggi, karena bisa berbahaya.

Tanyakan pada dokter

Apakah obat yang diberikan mempunyai efek samping, bila ya tanyakan apa saja efek itu, si kecil harus berpantang makanan atau tidak.

drug compliance


• Sifat toksisitas selektif : membunuh mikroorganisme yang menginvasi host tanpa merusak sel host.
• Toksisitas Antibiotik lebih bersifat relatif daripada absolut : perlu kontrol konsentrasi obat secara hati-hati sehingga dapat ditolerir tubuh.
Seleksi Obat Antimikroba
Dasar pertimbangan (ideal) :
• Identifikasi & sensitivitas organisme,
• Tempat infeksi,
• Status pasien (umur, BB, keadaan patologis, kehamilan & laktasi),
• Keamanan antibiotik,
• Biaya.
Dalam prakteknya :
• Terapi empirik sebelum identifikasi organisme.
• Berdasar bukti-bukti ilmiah & pengalaman, dengan mempertimbangkan : mengutamakan obat bakterisid, memilih obat dengan daya penetrasi baik (jaringan tubuh, sistem saraf pusat), memilih obat dengan frekuensi pemberian rendah (drug compliance), mengutamakan obat dengan pengikatan protein rendah, tidak merutinkan penggunaan antibiotik mutakhir (misalnya sefalosporin gen-3) agar terjamin ketersediaan antibiotik yang lebih efektif bila dijumpai resistensi)

Minggu, 24 April 2011

pemakaian antibiotik untuk bayi

Studi terkini menyebutkan bahwa pemakaian antibiotik untuk mengatasi infeksi saluran kemih pada ibu hamil akan meningkatkan risiko anak cacat lahir. Dokter dan ibu hamil pun disarankan untuk lebih berhati-hati terhadap dua jenis antibiotik ini.

Studi terkini menyebutkan bahwa pemakaian antibiotik untuk mengatasi infeksi saluran kemih pada ibu hamil akan meningkatkan risiko anak cacat lahir. Dokter dan ibu hamil pun disarankan untuk lebih berhati-hati terhadap dua jenis antibiotik ini.

Peneliti menemukan fakta cacat lahir itu pada dua jenis antibiotik, yaitu sulfonamide (contoh: Bactrim) dan nitrofurantoins (contoh: Macrobid). Sementara itu, antibiotik penicillins dan erythromycins, yang banyak diresepkan untuk ibu hamil selama ini tergolong aman.

Penggunaan antibiotik yang diketahui tidak aman itu harus menjadi perhatian para dokter dalam mengambil keputusan untuk menangani infeksi pada ibu hamil.

Infeksi bakteri sangat berbahaya pada ibu hamil dan janinnya. Pemakaian antibiotik perlu lebih diperhatikan, karena studi mengenai pengaruh antibiotik terhadap ibu hamil belum banyak dilakukan.

Dalam investigasinya, peneliti menganalisis enam jenis antibiotik pada 13.000 wanita hamil yang kandungannya terdeteksi cacat dan juga 5.000 wanita hamil yang bebas dari cacat kandungan. Sebanyak 30 persen wanita dalam grup tersebut mengonsumsi antibiotik selama kehamilan, terutama pada trimester pertama.

Hasilnya ternyata, sebanyak 14 persen wanita yang melahirkan anak cacat diketahui menggunakan antibiotik beberapa bulan sebelum kehamilan dan pada trimester pertama.

Antibiotik sulfonamide terkait dengan enam jenis cacat lahir, sedangkan nitrofurantoins terkait pada empat jenis cacat. Dua jenis antibiotik ini berisiko paling banyak menghasilkan cacat lahir dibanding antibiotik lain yang risiko cacat lahirnya hanya 1 jenis.

Cacat lahir itu antara lain ketidaknormalan jantung yang dikenal dengan hypoplastic left heart syndrome. Penggunaan sulfonamides akan meningkatkan risiko cacat tersebut hingga 4 kali lipat. Terjadi pada 1 dari 42.000 kelahiran.

Studi ini dimuat dalam Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine dan diharapkan menjadi panduam dokter dan ibu hamil untuk menggunakan antibiotik yang lebih aman.
Peneliti menemukan fakta cacat lahir itu pada dua jenis antibiotik, yaitu sulfonamide (contoh: Bactrim) dan nitrofurantoins (contoh: Macrobid). Sementara itu, antibiotik penicillins dan erythromycins, yang banyak diresepkan untuk ibu hamil selama ini tergolong aman.

Penggunaan antibiotik yang diketahui tidak aman itu harus menjadi perhatian para dokter dalam mengambil keputusan untuk menangani infeksi pada ibu hamil.

Infeksi bakteri sangat berbahaya pada ibu hamil dan janinnya. Pemakaian antibiotik perlu lebih diperhatikan, karena studi mengenai pengaruh antibiotik terhadap ibu hamil belum banyak dilakukan.

Dalam investigasinya, peneliti menganalisis enam jenis antibiotik pada 13.000 wanita hamil yang kandungannya terdeteksi cacat dan juga 5.000 wanita hamil yang bebas dari cacat kandungan. Sebanyak 30 persen wanita dalam grup tersebut mengonsumsi antibiotik selama kehamilan, terutama pada trimester pertama.

Hasilnya ternyata, sebanyak 14 persen wanita yang melahirkan anak cacat diketahui menggunakan antibiotik beberapa bulan sebelum kehamilan dan pada trimester pertama.

Antibiotik sulfonamide terkait dengan enam jenis cacat lahir, sedangkan nitrofurantoins terkait pada empat jenis cacat. Dua jenis antibiotik ini berisiko paling banyak menghasilkan cacat lahir dibanding antibiotik lain yang risiko cacat lahirnya hanya 1 jenis.

Cacat lahir itu antara lain ketidaknormalan jantung yang dikenal dengan hypoplastic left heart syndrome. Penggunaan sulfonamides akan meningkatkan risiko cacat tersebut hingga 4 kali lipat. Terjadi pada 1 dari 42.000 kelahiran.

Studi ini dimuat dalam Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine dan diharapkan menjadi panduam dokter dan ibu hamil untuk menggunakan antibiotik yang lebih aman.

Penggunaan obat antibiotik untuk bayi

Penggunaan obat antibiotik untuk mengobati infeksi tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Para ahli memperingatkan dokter dan suster untuk lebih berhati-hati dalam memberikan antibiotik dosis tinggi pada bayi.



Pemberian yang sangat hati-hati ini berkaitan dengan masalah keselamatan dan kesehatan si bayi nantinya.
Penggunaan obat antibiotik dengan tidak benar pada usia muda berisiko menyebabkan kerusakan ginjal atau kehilangan pendengaran.



Pemberian antibiotik yang terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat mempengaruhi efektivitas dan toksisitas dari obat itu sendiri.

Pedoman baru yang dikeluarkan Badan Nasional Keselamatan Pasien (NPSA) Inggris menyarankan bahwa staf kesehatan tidak boleh terganggu saat menyiapkan dan mengelola pemberian antibiotik. Selain itu ketika obat resep dokter sudah diberikan, maka dokter harus melakukan pemantauan selama 24 jam untuk menghindari kekeliruan.

Jika pengobatan diberikan melalui infus, maka obat harus diberikan secara berkala dan kadar obat dalam darah harus dipantau secara konsisten.

Pedoman ini diterapkan untuk menghindari terjadinya kerusakan atau efek keracunan akibat dosis obat yang berlebihan, serta meminimalkan efek samping jangka pendek yang mungkin muncul dari antibiotik tersebut.

"Pedoman ini untuk memastikan standar tinggi dalam pemberian resep dan pengawasan penggunaan obat antibiotik yang kuat pada bayi atau usia muda," ujar Jenny Mooney dari NSPA, seperti dikutip dari Telegraph, Selasa (16/2/2010).

Antibiotik yang diberikan harus aman bagi bayi yang sedang sakit agar reaksi merugikan yang mungkin timbul dapat diminimalisir. Karenanya orangtua juga harus diberitahu mengenai kemungkinan risiko dari setiap perawatan yang diberikan pada bayinya.

"Karena daya tahan tubuh bayi belum terbentuk secara sempurna sehingga setiap tindakan yang diambil harus dipikirkan mengenai risikonya," katanya.

Seperti dikutip dari Irishhealth, antibiotik adalah kelompok obat yang digunakan untuk mengobati berbagai infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Namun antibiotik tidak akan efektif terhadap infeksi yang disebabkan oleh virus.

Jika seseorang mengalami sakit tenggorokan atau flu yang disebabkan oleh virus, maka pengobatan dengan antibiotik hanya sedikit atau tidak memiliki peran sama sekali. Karena sebenarnya penyakit yang disebabkan oleh virus bisa hilang dengan sendirinya jika memiliki daya tahan tubuh yang kuat. Jadi jika dokter memberikan antibiotik untuk sakit flu itu suatu kekeliruan.

Beberapa antibiotik hanya efektif terhadap bakteri tertentu saja, sebagai contoh antibiotik penisilin bisa diresepkan untuk sakit tenggorokan akibat bakteri streptokokus. Meresepkan antibiotik tergantung dari letak dan tipe dari infeksi yang muncul.

Bakteri memiliki kemampuan untuk mengalami resistensi atau kebal terhadap antibiotik, sehingga penggunaan antibiotik tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Namun antibiotik akan memiliki potensi yang efektif jika digunakan secara tepat.

Beberapa antibiotik ada yang menimbulkan efek samping seperti mual, muntah atau diare akibat perubahan keseimbangan bakteri di dalam usus. Namun jika efek samping yang ditimbulkan lebih dari itu, sebaiknya konsultasikan dengan dokter untuk mengetahui apakah antibiotik yang dikonsumsi harus diganti atau tidak.

Jumat, 22 April 2011

Ceclor®

Apa dosis dan bagaimana seharusnya itu digunakan?

Cefaclor comes as a capsule, long-acting tablet, and liquid form which is to be taken orally. Cefaclor datang sebagai tablet, kapsul long-acting, dan bentuk cair yang akan diambil secara lisan.

It is important to take this medication exactly as directed by your doctor. Adalah penting untuk mengambil obat persis seperti yang diarahkan oleh dokter Anda.
If you do not understand these instructions, ask your pharmacist, nurse, or doctor to explain them to you. Jika Anda tidak memahami petunjuk ini, tanyakan kepada apoteker Anda, perawat, atau dokter untuk menjelaskan kepada Anda.

Take each dose with a full glass of water. Ambil dosis masing-masing dengan segelas penuh air.


The regular-release Ceclor® capsules and suspension can be taken either on an empty stomach or with food or milk if it causes stomach upset. Rilis-biasa Ceclor ® kapsul dan suspensi dapat diambil baik dalam keadaan perut kosong atau dengan makanan atau susu jika itu menyebabkan sakit perut.


The extended-release Ceclor CD® tablets should be taken with food. Rilis-diperpanjang Ceclor CD ® tablet harus diambil dengan makanan.


Do not take antacids that contain magnesium or aluminum (eg, Rolaids ® , Maalox ® , Mylanta ® , Milk of Magnesia ® , and others) within one hour of a dose of Ceclor CD® (extended-release cefaclor). Jangan mengambil antasida yang mengandung magnesium atau aluminium (misalnya, Rolaids ®, Maalox ®, Mylanta ®, Susu Magnesia ®, dan lain-lain) dalam waktu satu jam dari satu dosis Ceclor CD ® (extended-release cefaclor).
These antacids may decrease the effects of the medication. Antasida ini dapat menurunkan efek obat.

Shake the liquid form of cefaclor well before measuring a dose. Kocok bentuk cair dari cefaclor baik sebelum mengukur dosis.
To ensure that you get a correct dose, measure the suspension with a dose-measuring spoon or cup, not a regular table spoon. Untuk memastikan bahwa Anda mendapatkan dosis yang tepat, mengukur suspensi dengan dosis-mengukur sendok atau cangkir, bukan sendok biasa. If you do not have a dose-measuring device, ask your pharmacist where you can get one. Jika Anda tidak memiliki perangkat dosis-pengukuran, tanyakan kepada apoteker Anda di mana Anda bisa mendapatkannya.

Do not cut, crush, or chew the extended-release Ceclor CD® tablets. Jangan memotong, menghancurkan, atau mengunyah rilis-diperpanjang Ceclor CD tablet ®.
They are specially formulated to release the medication slowly in the body. Mereka secara khusus diformulasikan untuk melepaskan obat secara perlahan dalam tubuh.

Furthermore, take cefaclor at evenly spaced intervals to keep a constant level of drug in the body. Selanjutnya, mengambil cefaclor pada interval merata spasi untuk menjaga tingkat konstan obat dalam tubuh.
It is important to take cefaclor regularly to get the most benefit. Adalah penting untuk mengambil cefaclor secara teratur untuk mendapatkan keuntungan yang paling.

Additionally, take all of the cefaclor that has been prescribed for you even if you begin to feel better. Selain itu, ambil semua cefaclor yang telah ditentukan untuk Anda bahkan jika Anda mulai merasa lebih baik.
Your symptoms may start to improve before the infection is completely treated. gejala Anda mungkin mulai untuk memperbaiki sebelum infeksi benar-benar diperlakukan


Tindakan pencegahan khusus apa yang harus saya ikuti?

Before taking Cefaclor: Sebelum mengambil Cefaclor:

Do not take cefaclor if you have ever had an allergic reaction to another cephalosporin or to a penicillin unless your doctor is aware of the allergy and monitors your therapy. Jangan mengambil cefaclor jika Anda pernah mengalami reaksi alergi terhadap sefalosporin atau penisilin lain, kecuali dokter Anda mengetahui alergi dan monitor terapi Anda.
Tell your doctor if you have kidney disease, or a gastrointestinal (digestive) disease such as colitis. Katakan kepada dokter Anda jika Anda memiliki penyakit ginjal, atau penyakit (pencernaan) pencernaan seperti kolitis. You may not be able to take cefaclor, or you may require a dosage adjustment or special monitoring during treatment if you have either of the conditions listed above. Anda mungkin tidak dapat mengambil cefaclor, atau anda mungkin memerlukan penyesuaian dosis atau pemantauan khusus selama pengobatan jika Anda memiliki salah satu dari kondisi yang tercantum di atas.
Furthermore, do not take antacids that contain magnesium or aluminum (eg, Rolaids ® , Maalox ® , Mylanta ® , Milk of Magnesia ® , and others) within one hour of a dose of Ceclor CD® (extended-release cefaclor). Selain itu, jangan mengambil antasida yang mengandung magnesium atau aluminium (misalnya, Rolaids ®, Maalox ®, Mylanta ®, Susu Magnesia ®, dan lain-lain) dalam waktu satu jam dari satu dosis Ceclor CD ® (extended-release cefaclor). These antacids may decrease the effects of the medication. Antasida ini dapat menurunkan efek obat.
The Ceclor® suspension contains sucrose. The Ceclor ® suspensi mengandung sukrosa. Individuals with diabetes may need to be aware of the sucrose contained in this suspension. Individu dengan diabetes mungkin perlu menyadari sukrosa yang terkandung dalam suspensi ini.
Moreover, cefaclor is in the FDA pregnancy category B. This means that it is unlikely to be harmful to an unborn baby. Selain itu, cefaclor dalam kategori kehamilan FDA B. Ini berarti bahwa tidak mungkin berbahaya bagi bayi yang belum lahir. Do not, however, take cefaclor without first talking to your doctor if you are pregnant or could become pregnant during treatment. Jangan Namun, mengambil cefaclor tanpa terlebih dahulu berbicara dengan dokter Anda jika Anda sedang hamil atau bisa menjadi hamil selama pengobatan.
Additionally, cefaclor passes into breast milk and may affect a nursing infant. Selain itu, cefaclor masuk ke dalam ASI dan dapat mempengaruhi bayi menyusui. Do not take this medication without first talking to your doctor if you are breast-feeding a baby. Jangan minum obat ini tanpa terlebih dahulu berbicara dengan dokter Anda jika Anda sedang menyusui bayi.

Penggolongan Sefalosporin

 

 

 

sefalosforin

 


 Golongan antibiotika Betalaktam. Seperti antibiotik Betalaktam lain, mekanisme kerja antimikroba Sefalosporin ialah dengan menghambat sintesis dinding sel mikroba. Yang dihambat adalah reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.
Sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif maupun garam negatif, tetapi spektrum masing-masing derivat bervariasi.

Penggolongan Sefalosporin

Hingga tahun 2006 golongan Sefalosporin sudah menjadi 4 generasi, pembedaan generasi dari Sefalosporin berdasarkan aktivitas mikrobanya dan yang secara tidak langsung sesuai dengan urutan masa pembuatannya.

Berikut pembagian generasi Sefalosporin :

No. Nama Generasi Cara Pemberian Aktivitas Antimikroba
1. Cefadroxil 1 Oral Aktif terhadap kuman gram positif dengan keunggulan dari Penisilin aktivitas nya terhadap bakteri penghasil Penisilinase
2. Cefalexin 1 Oral
3. Cefazolin 1 IV dan IM
4. Cephalotin 1 IV dan IM
5. Cephradin 1 Oral IV dan IM
6. Cefaclor 2 Oral Kurang aktif terhadap bakteri gram postif dibandingkan dengan generasi pertama, tetapi lebih aktif terhadap kuman gram negatif; misalnya H.influenza, Pr. Mirabilis, E.coli, dan Klebsiella
7. Cefamandol 2 IV dan IM
8. Cefmetazol 2 IV dan IM
9. Cefoperazon 2 IV dan IM
10. Cefprozil 2 Oral
11. Cefuroxim 2 IV dan IM
12. Cefditoren 3 Oral Golongan ini umumnya kurang efektif dibandingkan dengan generasi pertama terhadap kuman gram positif, tetapi jauh lebih efektif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil Penisilinase.
13. Cefixim 3 Oral
14. Cefotaxim 3 IV dan IM
15. Cefotiam 2 IV dan IM
16. Cefpodoxim 3 Oral
17. Ceftazidim 3 IV dan IM
18. Ceftizoxim 3 IV dan IM
19. Ceftriaxon 3 IV dan IM
20. Cefepim 4 Oral IV dan IM Hampir sama dengan generasi ketiga
21. Cefpirom 4 Oral IV dan IM

Indikasi Klinik

Sediaan Sefalosporin seyogyanya hanya digunakan untuk pengobatan infeksi berat atau yang tidak dapat diobati dengan antimikroba lain, sesuai dengan spektrum antibakterinya. Anjuran ini diberikan karena selain harganya mahal, potensi antibakterinya yang tinggi sebaiknya dicadangkan hanya untuk hal tersebut diatas.

Adapun indikasi dari masing Sefalosporin sebagai berikut :

  1. Cefadroxil dan Cefalexin Obat golongan Cefalosporin ini yang digunakan untuk mengobati infeksi tertentu yang disebabkan oleh bakteri pada kulit, tenggorokan, dan infeksi kandung kemih. Antibiotik ini tidak efektif untuk pilek, flu atau infeksi lain yang disebabkan virus.
  2. Cefazolin Cefazolin digunakan untuk mengobati infeksi bakteri dan penyakit pada infeksi pada kandung empedu dan kandung kemih, organ pernafasan, genito urinaria (infeksi pada organ seksual dan saluran kencing), pencegahan infeksi pada proses operasi dan infeksi kulit atau luka.
  3. Cephalotin Obat golongan Sefalosporin ini yang digunakan untuk mengobati infeksi bakteri dan penyakit pada infeksi kulit dan jaringan lunak, saluran nafas, genito-urinaria, pasca operasi, otitis media dan septikemia.
  4. Cefaclor dan Cefixim Cefalosporin ini menghilangkan bakteri yang menyebabkan berbagai macam penyakit seperti pneumonia dan infeksi pada telinga, paru-paru, tenggorokan, saluran kemih dan kulit.
  5. Cefamandol, Ceftizoxim dan Ceftriaxon Cefalosporin ini menghilangkan bakteri yang menyebabkan berbagai macam penyakit pada paru-paru, kulit, tulang, sendi, perut, darah dan saluran kencing.
  6. Cefmetazol Cefmetazol lebih aktif daripada Sefalosporin golongan pertama terhadap gram positif Proteus, Serritia, kuman anaerobik gram negatif (termasuk B. fragilis) dan beberapa E.coli, Klebsiella dan P. mirabilis, tetapi kurang efektif dibandingkan Cefoxitin atau Cefotetan melawan kuman gram negatif.
  7. Cefoperazon dan Ceftazidim Obat Sefalosporin ini menghilangkan bakteri yang menyebabkan berbagai macam infeksi termasuk paru-paru, kulit, sendi, perut, darah, kandungan, dan saluran kemih.
  8. Cefprozil Obat Sefalosporin ini mengobati infeksi seperti Otitis Media, infeksi jaringan lunak dan saluran nafas.
  9. Cefuroxim Cefuroxim digunakan untuk mengobati infeksi tertentu yang disebabkan oleh bakteri seperti; bronkitis, gonore, penyakit limfa, dan infeksi pada organ telinga, tenggorokan, sinus, saluran kemih, dan kulit.
  10. Cefotaxim Cefotaxime digunakan untuk mengobati Gonore, infeksi pada ginjal (pyelonephritis), organ pernafasan, saluran kemih, meningitis, pencegahan infeksi pada proses operasi dan infeksi kulit dan jaringan lunak.
  11. Cefotiam Memiliki aktivitas spetrum luas terhadap kuman gram negatif dan positif, tetapi tidak memiliki aktivitas terhadap Pseudomonas aeruginosa.
  12. Cefpodoxim Obat Sefalosporin ini menghilangkan bakteri yang menyebabkan berbagai macam infeksi seperti Pneumonia, Bronkitis, Gonore dan infeksi pada telinga, kulit, tenggorokan dan saluran kemih.
  13. Cefepim Obat Sefalosporin ini menghilangkan bakteri yang menyebabkan berbagai macam infeksi seperti Pneumonia, kulit, dan saluran kemih.
  14. Cefpirom Obat Sefalosporin ini menghilangkan bakteri yang menyebabkan berbagai macam infeksi pada darah atau jaringan, paru-paru dan saluran nafas bagian bawah, serta saluran kemih.
Sumber :
www.tiscali.co.uk
http://redpoll.pharmacy.ualberta.ca/drugbank/
http://search.nlm.nih.gov/medlineplus/
www.ashp.org