Saat ini kuman yang resistan terhadap obat terus bertambah jenisnya sehingga menyulitkan pengobatan dan biayanya pun semakin tinggi.
Demikian terungkap dalam seminar "Penggunaan Antimikroba secara Rasional" yang diselenggarakan Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Senin (21/6/2010) di Jakarta. Kegiatan itu terkait Symposium of Indonesia Antimicrobial Resistance Watch pada 2-4 Juli 2010.
Pakar mikrobiologi klinik, Prof Agus Sjahrurachman, mengatakan, resistensi terhadap antimikroba adalah hal alami karena mikroba mengembangkan mekanisme mempertahankan diri. Namun, ulah manusia ikut mempercepat terjadinya resistensi dan penyebarannya. Kecepatan resistensi tidak seimbang dengan laju penemuan obat antimikroba baru. Akibatnya, penanganan penyakit semakin sulit dan biayanya pun meningkat.
Beberapa contoh kuman yang resistan antara lain Salmonella typhi yang resistan terhadap chloramphenico dan Streptococcus pneumonia terhadap makrolida baru. Mycobacterium tuberculosis yang tadinya resistan rendah terhadap INH tingkat resistensinya semakin tinggi. Bahkan, ada kasus kuman yang resistan terhadap banyak obat, contohnya Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis yang resistan pada Methicillin, Staphylococcus aureus resistan pada Vancomycin.
"Bakteri resistan itu justru banyak di rumah sakit, terutama di ruang rawat intensif, karena kegiatan pengobatan. Kuman-kuman resistan di rumah sakit itu bisa terbawa ke luar rumah sakit, kemudian menyebar," ujarnya.
Selain itu, penggunaan antibiotik sembarangan, putus obat, lemahnya pengendalian infeksi di rumah sakit, promosi obat-obatan yang berakibat penggunaan terlalu masif, dan ketidaktepatan penanganan pasien juga mendorong percepatan resistansi.
Ahli penyakit dalam dari FKUI, Prof Djoko Widodo, mengungkapkan, resistansi terhadap antibiotik menjadi masalah yang terus meningkat. Guna mengendalikan resistansi itu, setiap rumah sakit seharusnya mempunyai peta kuman dengan pemeriksaan. Dengan peta kuman, diketahui kuman yang telah resistan dan pengendaliannya. Ini termasuk penatalaksanaan oleh dokter terhadap pasien.
Dokter spesialis mikrobiologi klinik, Anis Karuniawati, mengatakan, dengan adanya data hasil pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas terhadap antibiotik yang akurat, dapat disusun suatu kebijakan pemilihan antibiotik sesuai pola mikroba dan pola resistensi di rumah sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar