Ketahanan terhadap antibiotik merupakan salah satu bentuk mekanisme adaptasi mikroorganisme (dalam hal ini bakteri) untuk dapat tetap eksis dan hidup pada lingkungannya dengan keberadaan antibiotik. Ketahanan terhadap antibiotik ini umumnya bersifat heritable (diwariskan dan atau turun temurun) dari sel induk sebelumnya mengingat akan model perkembangan sel bakteri yang umumnya melalui pembelahan binner.
Secara umum, ketahanan bakteri terhadap antibiotik ini diatur oleh gen-gen resistensi terhadap antibiotik yang dimiliki oleh bakteri. Keberadaan gen-gen itu sendiri, umumnya terletak pada plasmid, ada yang bersifat single resistant (Virdis et al., 2010) atau multiresistant atau yang dikenal dengan superbugs (Mehr et al., 2010).
Sebelum mengetahui bagaimana bakteri dapat tahan terhadap antibiotik, maka, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana aksi dari antibiotik terhadap bakteri. Dengan demikian mekanisme ketahanan terhadap antibiotik dapat diketahui melalui reaksi bakteri terhadap aksi antibiotik.
Secara umum, aksi dari antibiotik tergantung dari sifat antibiotik tersebut yang di antaranya:
1. Menghambat sistesis protein
2. Menghambat sintesis membran atau dinding sel
3. Penghambat Kompetitor enzim
Dengan 3 aksi dari antibiotik tersebut maka secara garis besar mekanisme ketahanan bakteri terhadap antibiotik dapat dilakukan melalui beberapa cara di antaranya:
Mehr, M. T., H. Khan, T.M. Khan, N.U. Iman, S. Iqbal and S. Adnan. 2010. E. coli urine superbug and its antibiotic sensitivity- a prospective study. J. Med. Sci. 18(2)110-113.
Niumsup, P. and V. Wuthiekanun. 2002. Cloning of the class D beta-lactamase gene from Burkholderia pseudomallei and studies on its expression in ceftazidime-susceptible and – resistant strain. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 50:445-455.
Rice, L. B., L. L. Carias, S.Rudin, R. Hutton, S. Marshall, M. Hassan, N. Josseaume, L. Dubost, A. Marie and M. Arthur. 2009. Role of class A penicillin-binding proteins in the expression of beta-lactam resistance in Enterococus faecium. Journal of Bacteriology 191 (11): 3649-3656.
Virdis, S., C. Scarano, F. Cossu, V.Spanu, C. Spanu and E.P.L.De Santis. 2010. Antibiotic resistance in Staphylococcus aureus and coagulase negative staphylococci isolated from goats with subclinical mastitis. Veterinary Medicine International. Doi:10.4061/2010/517060.
Webber M. A and L.J.V. Piddcock. 2002. The importance of efflux pumps in bacterial antibiotic resistance. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 51, 9-11
Secara umum, ketahanan bakteri terhadap antibiotik ini diatur oleh gen-gen resistensi terhadap antibiotik yang dimiliki oleh bakteri. Keberadaan gen-gen itu sendiri, umumnya terletak pada plasmid, ada yang bersifat single resistant (Virdis et al., 2010) atau multiresistant atau yang dikenal dengan superbugs (Mehr et al., 2010).
Sebelum mengetahui bagaimana bakteri dapat tahan terhadap antibiotik, maka, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana aksi dari antibiotik terhadap bakteri. Dengan demikian mekanisme ketahanan terhadap antibiotik dapat diketahui melalui reaksi bakteri terhadap aksi antibiotik.
Secara umum, aksi dari antibiotik tergantung dari sifat antibiotik tersebut yang di antaranya:
1. Menghambat sistesis protein
2. Menghambat sintesis membran atau dinding sel
3. Penghambat Kompetitor enzim
Dengan 3 aksi dari antibiotik tersebut maka secara garis besar mekanisme ketahanan bakteri terhadap antibiotik dapat dilakukan melalui beberapa cara di antaranya:
- Menginaktivasi atau memodifikasi antibiotik, sebagai contohnya deaktivasi secara enzimatik Ceftazidime dengan memproduksi enzim β-lactamase (Niumsup and Wuthiekanun, 2002).
- Mengubah target site dari antibiotik. sebagai contohnya, pengubahan Penicillin Binding Protein (binding target site dari penicillins) padabakteri-bakteri yang tahan terhadap penicillin (Rice et al., 2009).
- Mengubah jalur metabolis. sebagai contohnya beberapa bakteri yang tahan terhadap sulfonamida tidak membutuhkan para-aminobenzoic acid (PABA), sebuah prekursor penting untuk sintesis asam folat dan asam nukleat di dalam bakteri yang dihambat oleh sulfonamida. Seperti pada sel mamalia, bakteri akan menggunakan pre-asam folat sebagai prekursornya (Feldman, 1967).
- Mengurangi akumulasi antibiotik dalam sel. Umumnya hal ini dilakukan dengan mengurangi permeabilitas terhadap antibiotik dan atau meningkatkan efflux (pemompaan keluar) antibiotik dari dalam sel melewati permukaan sel (Webber and Piddcock, 2002).
Sumber: http//atmanarief.blogspot.com
PUSTAKA
Feldman H. A. 1967. Sulfonamides-resistant meningococci. Annual Review of Medicine 18: 495-506.Mehr, M. T., H. Khan, T.M. Khan, N.U. Iman, S. Iqbal and S. Adnan. 2010. E. coli urine superbug and its antibiotic sensitivity- a prospective study. J. Med. Sci. 18(2)110-113.
Niumsup, P. and V. Wuthiekanun. 2002. Cloning of the class D beta-lactamase gene from Burkholderia pseudomallei and studies on its expression in ceftazidime-susceptible and – resistant strain. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 50:445-455.
Rice, L. B., L. L. Carias, S.Rudin, R. Hutton, S. Marshall, M. Hassan, N. Josseaume, L. Dubost, A. Marie and M. Arthur. 2009. Role of class A penicillin-binding proteins in the expression of beta-lactam resistance in Enterococus faecium. Journal of Bacteriology 191 (11): 3649-3656.
Virdis, S., C. Scarano, F. Cossu, V.Spanu, C. Spanu and E.P.L.De Santis. 2010. Antibiotic resistance in Staphylococcus aureus and coagulase negative staphylococci isolated from goats with subclinical mastitis. Veterinary Medicine International. Doi:10.4061/2010/517060.
Webber M. A and L.J.V. Piddcock. 2002. The importance of efflux pumps in bacterial antibiotic resistance. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 51, 9-11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar