Para ilmuwan rekayasa genetika gemar melakukan eksperimen dengan ‘menggunting’, ‘menyambung’ dan ‘menempelkan’ fragmen-fragmen DNA, kemudian memasukkannya ke dalam sel makhluk hidup seperti bakteri, fungi, tanaman dan juga hewan untuk dilihat bagaimana efek dari DNA yang dimasukkannya itu. Lantas bagaimana caranya agar suatu fragmen DNA dapat dimasukkan ke dalam sel makhluk hidup dan dapat berfungsi layaknya DNA milik sel itu sendiri?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita kilas balik sejenak ke tahun 1928 ketika Frederick Griffith sedang mencari vaksin untuk melawan bakteri penyebab pneumonia yaitu Streptococcus pneumoniae. Saat itu ia dibuat heran ketika strain bakteri S. pneumoniae yang tidak virulen dapat berubah menjadi virulen setelah kontak dengan strain yang virulen yang sudah mati. Kok bisa? apa yang menyebabkan perubahan itu? Pertanyaan ini baru menemukan titik terang ketika tahun 1944, Oswald Avery, Coling MacLeod & Maclyn McCarty mengisolasi DNA genom bakteri dari strain yang virulen dan mentransformasinya ke strain bakteri non virulen, hasilnya dapat ditebak, bakteri non virulen tadi berubah menjadi virulen.
Transformasi, begitulah ketiganya menyebut proses penyerapan dan penyatuan DNA oleh bakteri. Meskipun awalnya ditanggapi dengan skeptis, namun akhirnya teknik ini mulai diterima luas di kalangan ilmuwan terutama setelah ditemukan teknik lainnya yaitu konjugasi (1947) dan transduksi (1953) oleh Joshua Lederberg.
Selain teknik ‘heat-shock’, sejak tahun 1980 telah digunakan teknik ‘elektroforasi’ yaitu dengan mengejutkan sel bakteri dengan medan listrik berkekuatan tinggi (10-20 kV/cm). Saking terkejutnya, akan terbentuk lubang-lubang pada dinding sel yang bisa diterobos DNA plasmid berukuran besar dan kemudian lubang tersebut akan tertutup dengan sendirinya.
Nah, jika gen LacZ ini masih utuh, maka koloni bakteri akan berwarna biru akibat pengaruh zat warna indigo yang dihasilkan. Tetapi jika insert berhasil disisipkan (diligasikan) dengan vektor, otomatis gen lacZ-nya akan terdisrupsi alias rusak dan ujung-ujungnya tidak mampu menghasilkan indigo yang berwarna biru, sehingga koloni bakteri akan berwarna putih. Jadi hanya koloni putih yang tumbuh pada media yang mengandung antibiotik dan X-Gal sajalah yang kemungkinan mengandung gen yang kita transformasikan. Inilah yang dinamakan seleksi biru-putih.
Selain pada bakteri, transformasi juga bisa dilakukan pada sel tanaman dan hewan.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita kilas balik sejenak ke tahun 1928 ketika Frederick Griffith sedang mencari vaksin untuk melawan bakteri penyebab pneumonia yaitu Streptococcus pneumoniae. Saat itu ia dibuat heran ketika strain bakteri S. pneumoniae yang tidak virulen dapat berubah menjadi virulen setelah kontak dengan strain yang virulen yang sudah mati. Kok bisa? apa yang menyebabkan perubahan itu? Pertanyaan ini baru menemukan titik terang ketika tahun 1944, Oswald Avery, Coling MacLeod & Maclyn McCarty mengisolasi DNA genom bakteri dari strain yang virulen dan mentransformasinya ke strain bakteri non virulen, hasilnya dapat ditebak, bakteri non virulen tadi berubah menjadi virulen.
Transformasi, begitulah ketiganya menyebut proses penyerapan dan penyatuan DNA oleh bakteri. Meskipun awalnya ditanggapi dengan skeptis, namun akhirnya teknik ini mulai diterima luas di kalangan ilmuwan terutama setelah ditemukan teknik lainnya yaitu konjugasi (1947) dan transduksi (1953) oleh Joshua Lederberg.
Transformasi
Transformasi adalah ekspresi materi genetik asing yang masuk melalui dinding sel. Pada dasarnya dinding sel berfungsi melindungi sel dari masuknya benda-benda asing termasuk DNA, tapi dalam kondisi tertentu, dinding sel ini bisa memiliki semacam celah atau lubang yang bisa dimasuki DNA. Sebetulnya ada lebih dari 1% spesies bakteri mampu melakukan transformasi secara alami. Dimana mereka memproduksi protein-protein tertentu yang dapat membawa DNA menyeberangi dinding sel. Sedangkan di laboratorium, kita dapat membuat suatu bakteri menjadi kompeten (istilah untuk bakteri yang siap bertransformasi), misalnya dengan mendinginkannya pada larutan yang mengandung kation divalen seperti Ca2+ untuk membuat dinding sel menjadi permeable dan dapat dilalui oleh DNA plasmid. Dengan melakukan teknik ‘heat-shock‘ — mendinginkan, memanaskan dan mendinginkan kembali– bakteri, maka DNA dapat masuk ke dalam sel. Teknik ini ditemukan oleh trio peneliti Stanley Cohen, Annie Chang, Leslie Hsu pada tahun 1972.Selain teknik ‘heat-shock’, sejak tahun 1980 telah digunakan teknik ‘elektroforasi’ yaitu dengan mengejutkan sel bakteri dengan medan listrik berkekuatan tinggi (10-20 kV/cm). Saking terkejutnya, akan terbentuk lubang-lubang pada dinding sel yang bisa diterobos DNA plasmid berukuran besar dan kemudian lubang tersebut akan tertutup dengan sendirinya.
Transformasi alami biasanya melibatkan DNA rantai lurus (linear) sedangkan transformasi artifisial melibatkan DNA rantai melingkar (plasmid)
Cara Gen Ditransformasi
Umumnya transformasi bertujuan mengekspresikan suatu gen tertentu di dalam sel inang. Agar gen yang berupa fragmen DNA (biasa disebut insert) ini dapat masuk, ia harus dibuat menjadi DNA plasmid dulu dengan menyisipkannya pada suatu DNA vektor. Berikut ini tahapan-tahapan insersi gen ke plasmid/vektor. Anda juga dapat melihat teknik ini selengkapnya di sini.Bagaimana Memastikan Transformasi Berhasil?
Kita tahu bahwa setiap sel termasuk bakteri memiliki sistem pertahanan diri terhadap benda asing termasuk DNA. Jika sel bakteri menemukan adanya DNA asing, maka enzim restriksi sebagai penjaga benteng akan memotong-motong DNA tersebut hingga menjadi pendek dan tak berfungsi lagi. Agar DNA plasmid yang ditransformasi tidak dicincang oleh enzim restriksi, maka ia harus memiliki bagian yang dinamakan ori atau origin of replication yang dikenali oleh bakteri yang bersangkutan. Ori ini berfungsi ‘mengelabui’ bakteri agar tidak menganggapnya sebagai DNA asing. Ori juga merupakan signal agar bakteri tersebut melakukan replikasi alias penggandaan DNA plasmid secara independen seiring dengan replikasi DNA genomnya. Lalu bagaimana membedakan antara bakteri yang sudah dimasuki DNA plasmid dan mana yang tidak? Cara yang paling umum adalah dengan seleksi antibiotik. Kita tahu umumnya bakteri tidak dapat hidup pada media yang mengandung antibiotik. Untuk itu pada DNA plasmid yang kita transformasikan harus ada gen penyandi antibiotik resisten agar bakteri hostnya menjadi tahan hidup di media yang mengandung antibiotik. Jadi bakteri yang tidak berhasil disusupi oleh plasmid akan mati dengan sendirinya. Lalu bagaimana membedakan antara bakteri yang plasmidnya memiliki insert atau tidak? Karena yang namanya reaksi ligasi tidak akan 100% berhasil menyambungkan vektor dan insert. Bisa saja terjadi vektor berligasi sendiri (vector self-ligation), atau justru insert yang berligasi sendiri (insert self-ligation). Insert biasanya disisipkan di pertengahan gen lacZ yang merupakan penyandi lacZ-å subunit dari enzim ß-galactosidase, subunit lainnya, yaitu lacZ-w subunit dihasilkan oleh gen yang terdapat pada kromosom bakteri host-nya. Enzim ini dapat memecah substrat seperti X-gal (suatu galaktosa yang dimodifikasi) menjadi galaktosa dan pre-chromophore 5-bromo-4-chloro-3-hydroxyindole, yang selanjutnya dioksidasi menjadi 5,5′-dibromo-4,4′-dichloro-indigo yang berwarna biru.Nah, jika gen LacZ ini masih utuh, maka koloni bakteri akan berwarna biru akibat pengaruh zat warna indigo yang dihasilkan. Tetapi jika insert berhasil disisipkan (diligasikan) dengan vektor, otomatis gen lacZ-nya akan terdisrupsi alias rusak dan ujung-ujungnya tidak mampu menghasilkan indigo yang berwarna biru, sehingga koloni bakteri akan berwarna putih. Jadi hanya koloni putih yang tumbuh pada media yang mengandung antibiotik dan X-Gal sajalah yang kemungkinan mengandung gen yang kita transformasikan. Inilah yang dinamakan seleksi biru-putih.
Selain pada bakteri, transformasi juga bisa dilakukan pada sel tanaman dan hewan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar