Cari Blog Ini

Jumat, 28 Januari 2011

Mekanisme terjadinya resistensi terhadap antibiotik

. Antibiotik pertama, penisilin, ditemukan oleh Alexander Flemming pada tahun 1927. Kemudian, pada tahun 1939, Edward Chain dan Howard Florey melakukan studi terkait penemuan Alexander Flemming yaitu penggunaan penisilin pada manusia dalam mengatasi infeksi akibat mikroba khususnya bakteri. Hasil yang diperoleh mengacu terhadap keefektifan penisilin dalam mengatasi penyakit infeksi akibat mikroba. Seiring dengan perjalanan waktu, antibiotik bekerja dengan sempurna dalam mengatasi penyakit infeksi hingga muncul pendeklarasian oleh bagian bedah US pada tahun 1969, “It’s time to close the book on infectious disease (Inilah waktunya untuk tutup buku terhadap penyakit infeksi)”. Namun benarkah demikian ?
Pada tahun 1941, semua strain (jenis) bakteri Staphylococcus (penyebab umum luka dan infeksi pascaoperasi) peka terhadap penisilin. Namun, tiga tahun kemudian, strain ini tidak lagi peka terhadap penisilin atau dengan kata lain resistensi terhadap penisilin. Hingga saat ini, khususnya di rumah sakit, tidak hanya strain bakteri Staphylococcus yang diketahui mengalami resistensi terhadap antibiotik namun juga termasuk salah satunya adalah Pseudomonas, Enterococcus, dan Mycobacterium tuberculosis.
Resistensi bakteri terhadap antibiotik adalah kemampuan alamiah bakteri untuk mempertahankan diri terhadap efek antibiotik. Antibiotik menjadi kurang efektif dalam mengontrol atau menghentikan pertumbuhan bakteri. Bakteri yang menjadi target operasi antibiotik beradaptasi secara alami untuk menjadi “resisten” dan tetap melanjutkan pertumbuhan demi kelangsungan hidup meski dengan kehadiran antibiotik.
Secara garis besar resistensi bakteri terhadap antibiotik melalui tiga mekanisme. Pertama, terjadi mutasi pada porin (lubang-lubang kecil) yang terdapat pada dinding luar bakteri. Porin ini merupakan suatu jalur bagi antibiotik untuk masuk dan secara efektif menghentikan pertumbuhan bakteri. Akibat mutasi yang terjadi pada porin, antibiotik tidak lagi dapat mencapai tempat kerjanya di dalam sel bakteri. Kedua, adanya inaktivasi antibiotik. Mekanisme ini mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap antibiotik golongan aminoglikosida dan beta laktam karena bakteri mampu membuat enzim yang merusak kedua golongan antibiotik tersebut. Ketiga, terjadi pengubahan tempat ikatan antibiotik oleh bakteri sehingga antibiotik tidak mampu lagi untuk berikatan dengan bakteri sebagai upaya menghentikan pertumbuhan bakteri tersebut.
Populasi bakteri dapat mengalami evolusi untuk resistensi terhadap antibiotik secara cepat. Peningkatan yang signifikan terhadap prevalensi resistensi terhadap antibiotik telah dilaporkan di US selama sepuluh tahun belakangan ini. Hal ini berlaku sama di Indonesia. Sebagai contoh, dalam survei di empat pusat kesehatan US, 85% dari 424 tenaga kesehatan melaporkan resistensi terhadap antibiotik merupakan masalah utama nasional di sana. Selain itu, sekitar 5% strain bakteri Staphylococcus resistensi terhadap antibiotik ciprofloxacin. Bahkan dalam satu tahun, 80% strain bakteri ini mengalami resistensi. Dari 5% menjadi 80% dalam satu tahun !
Terdapat dua hal mendasar terkait dengan terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik yaitu kemampuan bakteri untuk berevolusi membentuk pertahanan diri terhadap antibiotik secara cepat dan kontribusi manusia dalam membantu bakteri tersebut untuk berevolusi lebih cepat. Kontribusi manusia menjadi faktor risiko penting dalam resistensi bakteri yaitu penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat terkait dengan penggunaan antibiotik yang irrasional. Konteks irrasional bermakna luas. Pertama, penggunaan antibiotik yang sering dalam pengobatan sehingga dapat mengurangi keefektifan dari antibiotik tersebut. Kedua, penggunaan antibiotik yang berlebihan. Beberapa contoh antibiotik yang relatif cepat kehilangan efektivitasnya setelah dipasarkan karena masalah resistensi adalah ciprofloxacin dan cotrimoxazole. Banyak dokter yang secara irrasional meresepkan antibiotik terhadap pasien bahkan ketika pasien itu sama sekali tidak membutuhkan antibiotik, misalnya saat terserang infeksi virus. Ketiga, penggunaan antibiotik dalam jangka waktu lama sehingga memberi kesempatan untuk tumbuhnya bakteri yang lebih resisten (first step mutant).
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat serta irrasional menjadi masalah utama dalam resistensi bakteri terhadap antibiotik. Penyebab dari hal tersebut adalah peresepan antibiotik yang salah dengan dosis yang tidak tepat untuk infeksi tertentu. Selain itu, terdapatnya beberapa kalangan medis yang meresepkan antibiotik berspektrum luas untuk membunuh bakteri yang menyebabkan infeksi sehingga bakteri target lebih tahan terhadap antibiotik tersebut yang tidak spesifik untuk dirinya. Permasalahan utama lain terkait penggunaan antibiotik yang tidak tepat adalah tersedianya antibiotik secara bebas di pasaran bahkan tanpa resep dokter. Penggunaan antibiotik yang tidak dipahami pasien juga dapat menjadi salah satu penyebab resistensi bakteri. Sebagian besar pasien yang mendapatkan terapi antibiotik sering menghentikan pengobatan saat dirinya merasa secara subjektif lebih baik dari sebelumnya atau anggapan bahwa dirinya telah sembuh padahal dokter telah memberi dosis antibiotik yang sesuai untuk dikonsumsi hingga bakteri yang menjadi penyebab infeksi dapat dibasmi secara tuntas. Hal ini mengakibatkan bakteri yang ada pada tubuh pasien tersebut tidak secara tuntas dibasmi dan timbul pertahanan diri yang baru terhadap antibiotik yang sama yang akan menyerang kelak.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat telah disadari sebagai sebuah kontribusi utama pada resistensi bakteri. Hal penting yang harus digarisbawahi dalam hal ini adalah adanya strategi kontrol terhadap penggunaan antibiotik dalam meningkatkan efektivitasnya terhadap penghambatan atau pembunuhan bakteri sehingga resistensi bakteri terhadap antibiotik pun dapat diatasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar