Cari Blog Ini

Senin, 28 Maret 2011

Antibiotik untuk Pneumonia



Infeksi organ pernapasan masih menjadi masalah besar bagi dokter paru. Satu atau lebih kesalahan dalam penggunaan antibiotika akan mendatangkan hasil yang buruk
Lagi-lagi antibiotik. Memang tak akan pernah ada habisnya kalau bicara agen pembasmi bakteri ini. Dalam The Seventh International Meeting on Respiratory Care Indonesia (Respina), di Hotel Borobudur 2-4 Desember lalu, topik tentang antibiotik dan resistensi bakteri menjadi perdebatan cukup seru. Lebih-lebih penggunaan antibiotik di paru .
Menurut Prof. Dr. Hadiarto Mangunnegoro SpP(K) dari RS Persahabatan Jakarta, infeksi organ pernapasan seperti pneumonia masih menjadi masalah besar bagi sebagian besar dokter paru. Keputusan yang tepat sangat diperlukan saat memilih dan kapan harus memberikan antibiotik dengan akurat. “Satu atau lebih kesalahan dalam keputusan klinis mungkin akan mendatangkan hasil yang buruk,” jelas Hadiarto. Tak heran jika tingkat morbiditas dan mortalitas pneumonia masih sangat tinggi khususnya pada pasien dengan risiko tinggi seperti pasien lansia, penderita HIV, pengguna alkohol dan pasien dengan kondisi kekebalan tubuh yang tidak baik.
Terapi antibiotik optimal, masih menurut Hadiarto, dalam manajemen community-acquired pneumonia (CAP) selalu menimbulkan kontroversi. Yang paling utama adalah kebanyakan terapi yang appropriate terhadap CAP tidak disertai diagnosis dan etiologi CAP yang akurat di sebagian besar pasien. Selain itu kemungkinan timbulnya resistensi bakteri dan infeksi polimikrobial pada CAP.
Dikatakan pria kelahiran Cianjur 18 Juli 1942 ini, insiden SCAP (Severe community-acquired pneumonia yakni CAP yang berat hingga harus dirawat di ICU) cukup tinggi yaitu sekitar 5-35 % dengan kematian mencapai 20-50%. Dan, hampir 50% penyebab SCAP tidak diketahui.
Pasien SCAP, menurut panduan BTS tahun 2001, harus diterapi dengan antibiotik secara parenteral segera setelah didiagnosis. Kombinasi intravena β-lactamasespektum luas seperti co-amoxiclav atau generasi kedua cephalosporin (misal cefuroxime), generasi ketiga cephalosporin (misal cefotaxime atau ceftriaxone) dengan makrolide (misal clarithromycin atau erythromycin) sangat dianjurkan. Bagi pasien yang tidak toleran dengan β-lactam dan macrolide, atau diketahui ada kuman C difficile yang menimbulkan diare, maka fluoroquinolone dengan aktivitas tinggi melawan S pneumoniae bisamenjadi alternatif.
Pemberian antibiotik pasien SCAP yang dirujuk ke ICU juga bisa berdasarkan konsensus ahli dalam ASCAP (Antibiotic Selection for CAP) yang diterbitkan 1 Januari 2005 lalu. Antibiotik lini pertama untuk pasien SCAP dengan kemungkinan patogen sudah diketahui (misal Pseudomonas saja atau bersamaan dengan S. pneumoniae, H. influenzae, M. catarrhalis dan patogen atipikal lain) adalah antibiotik intravena ceftazidime plus aminoglycoside dan azithromycin ATAU impenem, aminoglycoside, dan levofloxacin.
Untuk lini kedua bila ada kemungkinan resistensi, bisa diberikan ceftazidime plus aminoglycoside, dan levofloxacin, ATAU piperacillin plus aminoglycoside dan azithromycin.
Durasi pemberian antibiotik bagi pasien community atau dirujuk ke rumah sakit dengan pneumonia non-severe atau tanpa komplikasi, adalah 7 hari. Namun untuk severe pneumonia dengan jenis mikrobiologi belum diketahui, menurut BTS, antibiotik diberikan selama 10 hari. Durasi diperpanjang hingga 14-21 hari bila ada kecurigaan atau dikonfirmasi legionella, staphylococcal, atau Gram negative enteric bacilli pneumonia.
HAP
Selain keputusan pemberian antibiotik berdasarkan evidence based medicine (EBM), Hadiarto menekankan, perlunya melihat pola-pola lokal dalam pemberian antibiotik. Ia mencontohkan, pola infeksi di Indonesia masih dikuasai Gram- negatif. Dari pengamatan Hadiarto di sejumlah rumah sakit di Indonesia, penggunaan ciclosporin sudah mencapai lebih dari 60%. “Jadi selain EBM, dibutuhkan juga experience dan melihat pattern lokal,” kata Hadiarto.
Tingginya penggunaan antibiotik tertentu akan memperbesar terjadinya resistensi. Maka perlu dilihat alternatif panggunaan antibiotik. Meski bukan yang terbaik, namun penggunaan kombinasi piperacillin dan tazobactam ternyata sama efektifnya dengan antibiotik jenis lain.
Dipaparkan oleh Prof. DR.Dr. Rianto Setiabudy SpFK, dari Departemen Farmakologi Klinik FKUI, beberapa studi dilakukan untuk melihat efikasi kombinasi piperacillin dan tazobactam dalam manajemen Hospital-acquired Pneumonia (HAP). HAP merupakan pneumonia yang terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. HAP merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi dari infeksi nosokomial di rumah sakit. Faktor risiko terjadinya HAP antara lain adanya kolonisasi oroparingeal, penggunaan ventilasi mekanik lebih dari 48 jam, perawatan di ICU dan perawatan yang lama di rumah sakit, keparahan penyakit dan munculnya komorbiditas.
Studi di Swiss dilakukan pada pasien HAP dewasa yang dirawat di rumah sakit lebih dari 72 jam. 75 pasien diberikan injeksi IV piperacillin/tazobactam4,8 gram tiap 8 jamdan 79 pasien mendapat imipenem/cilastatin injeksi IV 500 mg/500 mg tiap 6 jam. Respon klinis pada kelompok piperacillin/tazobactam, dilihat melalui gejala peneumonia dan foto toraks mencapai 83% sementara di kelompok imipenem/cilastatin hanya 71%. Respon terhadap bakteri P. aeruginosa 91% dibandingkan imipenem/cilastatin yang hanya 50%. Resistensi di kelompok piperacillin/tazobactam hanya terjadi pada 1 pasien sementara di kelompok pembandingnya 6 pasien.
Studi lain yang dilakukan di Spanyol maupun Perancis dengan pembanding ceftazidime menunjukkan hasil yang tidak jauh bermakna. Baik piperacillin/tazobactam maupun ceftazidime dikombinasikan dengan amikacin 15 mg/kg/hari. Dari dua studi di Spanyol dan Perancis ini, piperacillin/tazobactam ekuivalen dari segi efikasi dengan ceftazidime ditambah amikacin. Demikian pula dalam hal angka eradikasi patogen dan angka mortalitas yang tidak jauh berbeda.
Mono atau Kombinasi?
Pertanyaan ini sering dipertanyakan dalam pemberian terapi antibiotik. Menurut Hadiarto, terapi tunggal tidak direkomendasikan untuk SCAP. “Kombinasi minimal dua agen lebih bagus untuk mengurangi mortalitas dan resistensi,” jelasnya.
Sementara itu dipaparkan Rianto lagi, ada kriteria kapan harus diberikan terapi kombinasi antibiotik. Menurut Rianto, ada empat kriteria terapi kombinasi. Pertama, bila kombinasi tersebut memberikan sinergi. Kedua apabila kuman masuk kategori berat dan belum diidentifikasi. Ketiga, jika bisa dibuktikan kalau terapi kombinasi tersebut bisa menunda terjadinya resistensi dan keempat, bila terjadi infeksi campuran bakteri Gram positif, Gram negatif dan anaerob. Bila kriteria ini dipenuhi dan diterapkan secara benar maka kecil kemungkinan terjadinya multidrug resistance. “Kalau sekadar batuk pilek saja tidak perlu terapi kombinasi,” tegas Rianto.
Rianto menambahkan, kombinasi tidak dilarang bahkan dalam keadaan tertentu justru dianjurkan. Yang tidak boleh adalah pemberian antibiotik kombinasi untuk infeksi remeh temeh sehari-hari. “Bila infeksi berat, jangan kasih kesempatan kuman untuk hidup. Jangan tanggung-tanggung memberikan antibiotik,” tegasnya.
Bila dosis besar maka semua kuman baik yang lemah maupun yang kuat akan mati, tidak memberi kesempatan kuman untuk bermutasi. Jika antibiotik diberikan dalam dosis nanggung, maka first step mutan tidak mati dan memberi kesempatan padanya untuk menggandakan diri dan mengisi posisi teman-temannya yang mati. “Justru kalau kadarnya rendah sekalian tidak jadi masalah yang besar. Meskipun kuman yang kuat tidak mati, tetapi first step mutan tidak ada kesempatan berkembang karena dia minoritas,” jelas Rianto lagi.
MRSA
Saat lunch simposium, tema resistensi bakteri menjadi topik yang dibicarakan. Timbulnya resistensi baik pada organisme-organisme gram negatif maupun methicillin-resistant staphylococcus aureus (MRSA) menjadi ancaman yang besar, di luar infeksinya sendiri. Resistensi bakteri berkaitan dengan penggunaan antibiotik secara berlebihan. Padahal hal ini seharusnya bisa dihindari dengan menggunakan EBM.
MRSA hingga kini masih menjadi ancaman serius di ICU. Ada beberapa alasan kenapa MRSA masuk kategori “berbahaya”, seperti dijelaskan Hadiarto. Pertama, S. aureus ditakuti karena sifat virusnya dan kemampuan menyebabkan infeksi metastasis foci. Kedua, infeksi MRSA diasosiasikan dengan tingginya angka terapi empirik antibiotik yang tidak appropiate, sehingga memicu hasil yang mengerikan. Alasan selanjutnya, hingga kini terapi infeksi MRSA sebenarnya masih terbatas pada glikopeptida, yang diketahui memiliki penetrasi jaringan yang tidak bagus, sama halnya dalam aktivitas membunuh bakteri yang sangat kurang dibandingkan penisilin.
Pada awalnya vancomycin merupakan pilihan pertama untuk infeksi MRSA. Namun kini mulai terjadi resistensi pada agen ini. Antibiotik alternatif pun harus dicari, misalnya linezolid. Dr. Yati Istiantoro SpFK dari Departemen Farmakologi FKUI/RSCM, memaparkan penetrasi antara linezolid dan vancomycin pada paru. Secara umum, seperti diutarakan juga oleh Prof. J. Lipman, Kepala Bagian Anastesi dan ICU, Universitas Queensland, penetrasi linezolid ke jaringan pada pasien dengan ventilator sangat bagus. “Beberapa studi farmakokinetik tentang penetrasi ini juga menunjukkan distribusi volume yang tinggi dan penetrasi jaringan yang bagus.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar